MAKALAH : AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH (TUGAS METODOLOGI STUDI ISLAM)
MAKALAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
DOSEN PENGAMPU: WARDAH NURONIYAH, SHI, MSI
DISUSUN OLEH :
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima
kasih kepada Ibu Wardah Nuroniyah, SHI, MSI
selaku dosen mata kuliah Metodologi STudi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang
telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Makalah
yang ada dihadapan pembaca ini memberikan penjelasan tentang Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Penulis
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Ahlussunnah wal Jama’ah. Penulis juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya, sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang
yang membacanya, sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan.
Cirebon, Desember 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH.................................................................. 1
B.
RUMUSAN MASALAH................................................................................... 3
C.
TUJUAN............................................................................................................. 3
BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................... 4
A.
Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah................................................................. 4
B.
Asal Mula
Munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah.............................................. 5
C.
Doktrin-doktrin
Ahlussunnah wal Jama’ah........................................................ 5
BAB III : HASIL ANALISIS................................................................................. 12
BAB IV: PENUTUP
A.
Kesimpulan ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Aqidah pada masa Nabi adalah
aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam yang sebenaranya, karena belum
tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya karena Allah SWT. Ini disebabkan
karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga setiap
sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan
maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing langsung
oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa
sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum membentuk sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran
tertentu.
Berbicara masalah aliran
pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang ilmu kalam. Kalam secara
harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
“mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga
diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas
ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul
pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi, melainkan bidang politik.
Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu, perselisihan politik ini meningkat
menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori yang membahas latar belakang
timbulnya persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah
aqidah dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh
karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan
masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib. Kedua, aliran
ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an
maupun kajian terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak
ilmu kalam yang bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah,
Jabariyah, dan Mu’tazilah yang berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi
sebab awal terbentuknya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang
“satu istilah” yang mempunyai “banyak makna” , sehingga banyak
golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan
pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan
mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti
ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta
memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya
Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas kelompok atau golongan dalam
dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus masalah ushuluddin (fundamental
agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi
keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah, bahkan masalah budaya,
politik, dan sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang
berkaitan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah,
baik tentang riwayat asal
mula munculnya aliran ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah kepercayaannya.
Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah
2. Bagaimana riwayat asal mula munculnya
Ahlussunnah wal Jama’ah?
3. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal
Jama’ah?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal
Jama’ah.
2. Untuk mengetahui riwayat asal mula
munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah.
3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin
Ahlussunnah wal Jama'ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah
Kalimat Ahlussunnah wal
Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu : Ahlussunnah
yang artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau pengikut sunnah.
Dan wal Jama’ah yang artinya : dan
jama’ah, maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat Nabi[1].
Ahlussunnah adalah mereka
yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW. Dan membelanya[2].
Dari definisi di atas jelas,
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok
aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.
Dalam kajian ilmu kalam,
istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa sahabat,
sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut oleh sebagian
banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang menerangkan akan
terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi, yang artinya :
“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat
Nabi bertanya : Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab :
Yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh
pada i’tiqad yang dipegangi oleh sahabat-sahabatku”
B. Asal Mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah
Imam Abu Hasan al-Asy’ari
(lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di Baghdad, 324 H / 935 M) ialah
seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada masanya. Menurut catatan
sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya yakni Syaikh Abu
Ali Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar Mu’tazilah),
kemudian Abu Hasan al-Asy’ari keluar dari paham gurunya itu karena menurutnya
banyak keyakinan yang tidak benar. Kemudian beliau membangun paham sendiri
yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.
Paham Ahlussunnah wal
Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah, karena dinishbatkan
kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai paham Ahlussunnah
saja, juga sering disebut sunni dan
pengikutnya disebut sunniyun.
Seluruh ajaran Ahlussunnah
wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, dibukukan oleh beliau
diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau susun seperti : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul
Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.
C. Doktrin-doktrin
Ahlussunnah wal Jama’ah
a.
Pahamnya Tentang Seorang Muslim dan Hal Dosa
Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa suatu golongan dapat dianggap atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi
tiga syarat[3]
:
1. Mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan lisannya
2. Ucapan
itu diikuti kepercayaan dengan hatinya
3. Dan
dibuktikan dengan amal yang nyata
Adapun tentang dosa,
Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa orang yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia
mati belum bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang
mengerjakan maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka,
tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani
hukuman neraka, tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya[4].
Dari uraian tersebut
dapat kita bandingkan bahwa menurut Ahlussunnah apa yang
diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut mereka
tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu hak istimewa-Nya
b. Tentang Sifat-Sifat
Allah SWT
Menurut Ahlussunnah Allah itu
satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi, bukan tubuh, bukan oksigen,
tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat seperti
mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain.
Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari
sifat-sifat makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau perbedaan mutlak.
Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka
sifat tersebut mesti dipahami secara unik dan jangan dipahami seperti kita
memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin “mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita
tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas
di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan berbeda dari sifat
makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap
hakikatnya[5].
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang
disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti tekstual, tetapi mengandung makna
hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan Abu Huzail menjelaskan bahwa
sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan
Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan
pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya,
kata al-Jubba’i ialah untuk
mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan
atau keadaan mengetahui[6].
Menurut
al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi
Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa
paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa
sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan[7].
Sedangkan menurut
Hamka,
“membahas
sifat dan dzat manusia saja sangat sulit apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia
lebih menitikberatkan kajiannya kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik
dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang dapat diambil dari
pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk mempertinggi kualitas iman
seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas
amal sholehnya[8].
c.
Tentang Keadilan Allah SWT
Mengenai konsep keadilan
Allah SWT, pendapat Ahlussunnah bahwa Allah SWT
pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala
perbuatan makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan
berbuat sesuatu, maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut,
atas perbuatannya itu si hamba mempunyai kasab. Menurut Ahlussunnah, kasab ialah
berbarengannya kemampuan si hamba dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya punya
kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT[9].
Dalam uraian tersebut
nampaklah bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara pendapat Qadariah dan
Jabariah. Allah menciptakan kemamapuan dan kemauan si
hamba yang keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga
perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa
perantara seperti batu, pohon-pohon dan sebagainya. Ada yang memakai
perantara yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena
si hamba merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan mendapat
balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu
memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.
d. Tentang Janji dan
Ancaman
Menurut Mu’tazilah,
barangsiapa yang mati
dalam keadaan kafir atau melakukan dosa besar maka orang itu akan kekal dalam
neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman, dia pasti masuk surga
untuk selama-lamanya. Kaum Mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan
pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat[10].
Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal
dalam neraka, kecuali orang yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa
untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah
dengan adanya syafa’at (pembelaan) dari Nabi dan para Rasul serta para Sholihin di hari kiamat[11].
Dasar pemikiran Ahlussunnah
ialah bahwa Allah SWT
itu pemilik mutlak atas semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia
kehendaki dan menghakimi segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah
memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan.
Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu
bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan
sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa
digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya[12].
e.
Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat
Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para
filosof dan sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa
Allah itu dapat dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai
apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka menerima prinsip filsafat bahwa apa saja
yang menempati ruang atau arah haruslah memiliki waktu, padahal Allah tidak tidak
terikat dengan waktu. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, sebab
bila Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat, maka
Tuhan tidak dapat dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan
paham mereka bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini,
mereka menyatakan bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang
yang melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil
sekali, sebab sangat bertentangan dengan segenap prinsip optika[13].
Disamping itu,
Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks, dan Ahlussunnah
menegaskan bahwa ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits Nabi
mengenai hal ini harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional,
Ahlussunnah mengemukakan bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang menerangkan
tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan memahaminya secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan
artinya “melihat tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”[14].
f. Tentang perbuatan
Manusia
Ahlussunnah mengatakan bahwa
manusia mempunyai kemampuan yang berpengaruh atas segala perbuatannya dengan
izin Allah SWT. Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa
atas pilihannya. Kemampuan manusia tidak berpengaruh secara asli atas amal
perbuatannya, hanya seperti tangan yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak
bisa berbuat apa-apa jika tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan
demikian, Ahlussunnah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia,
sesuai dengan firman Allah bahwa :”Dia menciptakan apa saja
yang dikehendaki termasuk yang diciptakan-Nya dengan perantara
perbuatan mereka”[15].
Sedangkan Hamka
berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat.
Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah berdasarkan pilihan
bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan berkehendak
dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, karena kepada manusia
diberikan potensi akal. Dengan akal inilah manusia menimbang mana yang
baik dan mana yang
buruk, mana yang mendatangkan kemudlaratan dan mana yang mendatangkan
kemanfaatan[16]
BAB
III
HASIL
ANALISIS
Ahlussunnah
menggunakan tiga metode pendekatan dalam memahami al-Qur’an, yaitu : Pertama, bayani yakni pemikiran yang tradisional sarat dengan memahami
Al-Qur’an yang tekstual. Contohnya adalah dalam menetapkan sejumlah nama dan sifat Allah. Ahlussunnah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan
oleh Allah untuk diri-Nya sendiri, baik melalui kitab-Nya ataupun lisan
Rasul-Nya, tanpa harus merubah (menambah atau mengurangi), mengingkari,
menjelaskan tentang bentuk atau caranya, ataupun menyerupakan-Nya dengan
sesuatu apapun. Berlandaskan dalil yang artinya “Hanya
milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husnaitu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS.
Al A’raaf : 180)
Kedua, burhani
atau akal yang memahami Al-Qur’an itu dengan
kontekstual. Sebagai contoh adalah Ahlussunnah dalam meyakini tentang melihat
dzat Allah di akhirat. Dalilnya berupa ayat al-Qur’an yang artinya “Wajah-wajah (orang-orang mukmin)
pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabb nyalah
mereka melihat.” (QS
al-Qiyamah : 22-23).
Ahlussunnah meyakini bahwa di surga nanti apapun bisa terjadi termasuk Allah
menampakkan dzat-Nya di hadapan hamba-Nya yang bertakwa, namun disamping itu.
Ahlussunnah juga menafsirkan ayat yang sama dengan pemahaman yang berbeda,
menggunakan metode yang Ketiga, irfani
atau rasa yaitu pemahaman manusia melalui indera, baik indera dalam (hati)
maupun indera luar. Dalam hal ini yang dimaksudkan dzat Allah dapat terlihat
berupa ganjaran-Nya, nikmat-Nya, atau merasakan kedekatan dengan-Nya melalui
hati manusia itu sendiri.
Dengan demikian, penulis setuju bahwa
Ahlussunnah adalah aliran kalam yang lebih memilih netral daripada condong ke
satu arah. Mudah diterima karena konsep ajarannya tidak memaksa atau radikal.
Jadi, apabila suatu kaum menyatakan perang dengan kekerasan atas nama
Ahlussunnah wal Jama’ah maka mereka bukanlah Ahlussunnah yang sebenarnya,
karena Ahlussunnah tidak mengajarkan kekerasan namun lebih santun dan terbuka
dalam berda’wah.
Pesan tersirat dari ajaran
Ahlussunnah ialah berpikir maju namun tetap berlandaskan al-Qur’an dan hadits
Nabi, agar diri kita tidak dibutakan oleh dunia dengan tetap berpegang pada
syariat agama Islam. Sangat penting bagi generasi muda seperti mahasiswa untuk
menghadapi modernisasi zaman yang semakin pesat dan sarat akan tipu daya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham :
1) Yang dihukumkan orang islam ialah orang yang mempunyai kepercayaan hati,
dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya; 2) Orang islam yang berbuat
dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat, maka diklaim sebagai mukmin yang
melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk neraka, tetapi mempunyai harapan besar
masuk surga, walaupun sudah berabad-abad lamanya; 3) Semua perbuatan Allah
mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan yang
mengetahui hanyalah Allah sendiri.
Semua umat islam di tanah air kita Indonesia
ini adalah termasuk golongan ahlussunnah wal jama’ah, tak ada kecualinya,
karena i’tiqad dan ibadahnya semua sesuai dengan ajaran Allah dan
Rasul-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Shobirin. Ilmu Kalam. Penerbit CV. Dharma Bhakti, Jakarta, 2013.
Nasution, Harun. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 2002.
Sharif, M.M. Aliran-Aliran Filsafat Islam. Nuansa
Cendikia, Bandung.
2004.
Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar.
Perlamadani, Jakarta.
2003.
Zainuddin. Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta. 1992.
Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Presepsi dan
Tradisi NU. Lantabora Press, Jakarta, 2003.
Kodir, Koko Abdul. Metodologi Studi Islam. Pustaka Setia, Bandung, 2014.
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah
wal Jama’ah Dalam Presepsi dan Tradisi
NU, Lantabora Press, 2003, hlm. 1
[6] Harun Nasution, Teologi Islam :
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
2002, hlm. 135
[7] Harun Nasution, Teologi Islam :
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
2002, hlm. 136
[11] Harun Nasution, Teologi Islam :
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
2002, hlm. 71
Ada file makalahnya gk min?
BalasHapusTerimakasih Sungguh berguna bagi saya pribadi dlm membuat tugas kuliah
BalasHapus