MASALAH EKONOMI DAN PEMBAHASANNYA (TUGAS PENGANTAR ILMU EKONOMI ISLAM)
NAMA : ATIEQ FAUZIATI
NIM : 1415203018
JURUSAN : PERBANKAN SYARIAH 1
MATA
KULIAH : PENGANTAR ILMU EKONOMI
ISLAM
DOSEN
PENGAMPU : ALVIEN SEPTIAN HAERISMA, SEI,
MSI
1.
Pembeli
membeli apel di pasar yang sudah dalam bungkusan yang ringan sekali, kemudian pedagang
yang menjual apel tadi mengganti bungkusannya dengan bungkusan yang lebih
berat, lalu bungkusan itu berikut isinya ditimbangnya agar menjadi lebih berat
dan harganya menjadi ganda. Setelah ditimbang, pedagang melakukan ijab qabul
dengan pembeli menggunakan harga ganda, tetapi dengan bungkusan apel yang lebih
ringan.
Jawaban :
Jual
beli yang seperti ini termasuk transaksi yang dilarang dan hukumnya haram,
sebab melanggar prinsip (“An Taraddin
Minkum”) yakni “saling rela” karena mengandung unsur Tadlis (Incomplete information) atau transaksi yang salah satu
pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain baik kuantitas,
kualitas, harga pasar, waktu penyerahanan dan lain sebagainya.
Melalui
sebuah isnad yang baik Ath-Thabrani meriwayatkan dan juga Ibnu Hiban di dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud r.a yang
menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa
yang menipu kami, ia bukanlah termasuk golongan kami. Kelicikan dan tipu daya
itu di dalam api Neraka”.
Ibnu
Hajar al-Haitsami dalam kitabnya yang berjudul Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair menjelaskan bahwa jual beli yang
menukar barang ringan yang sama namun lebih berat ketika ditimbang, maka jual
beli tersebut tidak sah bahkan sangat haram karena dapat mengantarkan pelakunya
kepada murka Allah dan Rasul-Nya. Beliau juga memberi pesan agar jangan
sekali-kali ia melakukan berbagai transaksi jual beli yang dikotori oleh unsur
tipu daya dan kelicikan. Supaya dia menjelaskan berat yang sebenarnya barulah
dia boleh menjual barang tersebut kepada pembeli.
Al-Ghazali
dalam kitabnya yang berjudul Ihya
‘Ulumuddin berpendapat bahwa ”Setiap upaya yang menyebabkan kerugian bagi
pelanggan adalah kedzaliman. Keadilan itu hanyalah terletak pada tindakan yang
tidak membuat rugi saudaranya sesama Muslim”.
Rasulullah
SAW melarang keras jual beli dengan unsur tipu daya, dalam sabdanya yang
berbunyi “Tidak halal bagi seseorang
menjual sesuatu, kecuali dia menjelaskan apa yang ada padanya. Dan tidak halal
bagi orang yang mengetahui hal itu kecuali dia menjelaskannya” (H.R. Ibnu
Majah).
Dalam
surat al-Baqarah ayat 42. Allah melarang unsur penipuan dalam transaksi jual
beli “Dan janganlah kamu campur adukkan
yang hak dan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahui”.
Allah
berfirman dalam surat At-Taubah ayat 78 yang artinya “Tidakkah mereka tahu, bahwa Allah mengetahui
rahasia dan bisikan mereka. Dan sesungguhnya Allah
itu amat mengetahui segala perkara yang tersembunyi” (QS 9:78).
Larangan
adanya unsur penipuan dalam transaksi jual beli tidak hanya berlaku bagi Muslim,
tetapi juga dengan ahli dzimmah (kalangan non-Muslim yang berada dalam
perlindungan kekuasaan kaum Muslim). Rasulullah SAW bersabda tentang hak kaum ahli
dzimmah, “Hak mereka seperti hak kita dan kewajiban mereka sama dengan
kewajiban kita” (H.R. Bukhari) Maka menipu mereka dalam jual beli juga
berarti haram.
2.
Jual
beli tanah sawah dengan ijab qabul “saya beli 2 tahun” bukan “saya sewa 2
tahun”
Jawaban:
Jual
beli seperti ini dilarang dan haram hukumnya disebabkan tidak sahnya
akad. Transaksi seperti ini mengandung “2 in 1” atau “safqatain fi al-safqah” yaitu kondisi dimana satu transaksi
diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian mengenai akad
mana yang harus digunakan (berlaku). Dalam masalah ini yang menjadi sebab “2 in
1” adalah akad beli-sewa, karena tidak diketahui akad mana yang berlaku, akad
beli atau sewa.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Amr Ibn Syu’aib r.a Rasulullah SAW bersabda “Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua
syarat dalam satu transaksi jual beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan
menjual sesuatu yang bukan milikmu”.
Akad ini menggunakan ijab qabul
“saya beli tanah sawah ini 2 tahun” padahal jika dikaji kembali, jual beli
adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan
pemilikan untuk selamanya. Pasal 64 KHES menyatakan “Jual beli terjadi dan mengikat
ketika objek jual beli diterima pembeli, sekalipun tidak dinyatakan secara
langsung”.
Sedangkan
akad dalam transaksi ini dibatasi waktu yakni 2 tahun, pembatasan waktu seperti
ini menyiratkan akad sewa yang menjadikannya double akad.
Dalam akad jual beli ini, tidak bisa
dianggap menjadi akad sewa begitu saja. Karena, penjual dan pembeli disini
menhendaki transaksi jual beli bukan transaksi sewa menyewa, hal ini tersirat
dari kalimat ijab qabul yakni “saya beli tanah…”
3.
Penjual
menjual telur yang harganya Rp.20.000,-/1kg, namun ketika penjual menjual telur
seberat 1/4kg, maka pembeli dikenakan Rp.6000,- bukannya dikenakan
Rp.5000,-/1/4kg
Jawaban :
Hal
seperti ini sudah tidak asing lagi bagi pelaku ekonomi di pasar-pasar
tradisional. Transaksi ini diperbolehkan
dan dihalalkan. Mari kita kaji satu
persatu.
Sebenarnya
trik seperti ini terjadi pada pedagang kebutuhan pokok atau pedagang lain yang
menjual barang dagangannya dengan timbangan. Dan trik ini bukan diawali oleh
pedagang, melainkan oleh pembeli. Pedagang disini hanya meminimalisir kerugian
barang.
Pembeli
biasanya banyak yang berniat membeli 1kg tetapi meminta kepada pedagang agar
ditimbangkan 1/4kg dengan 4 kali timbangan, maka jadilah 1kg, atau meminta 1kg
agar ditimbangkan 1/2kg dengan 2 kali timbangan.
Pedagang
memasok barang dari produsen dengan timbangan yang tidak setengah-setengah,
maksudnya adalah apabila pedagang ingin memasok barang seberat 50kg maka
ditimbangkan langsung 50kg. Bukan dengan 1/4kg dengan 25 kali timbangan atau 1/2kg
dengan 20 kali timbangan. Cara menimbang langsung seperti ini lebih memudahkan
transaksi bagi pedagang dengan produsen daripada menimbang dengan berkali-kali
timbangan.
Timbangan
di pasar tradisional masih menggunakan timbangan tradisional dan bukan timbangan
listrik seperti di supermarket. Sangat sulit bagi pedagang untuk menimbang
dengan berat yang pas menggunakan timbangan tradisional. Dan dari timbangan
inilah muncul pedagang yang jujur dan pedagang yang tidak jujur dalam timbangan.
Dalam
surat al-Muthafffifin ayat 1-3 Allah mengecam bagi pedagang yang tidak jujur
akan timbangannya “Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain, mereka minta dilebihkan, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
Tidak
ada cara lain untuk terbebas dalam hal ini kecuali melebihkan jika memberi dan
mengurangi jika mengambil. Rasulullah SAW membeli sesuatu, beliau berkata
kepada tukang timbang ketika yang bersangkutan menimbang “Timbanglah dan lebihkan” hadits ini berasal dari sahabat Said bin
Qais dan diriwayatkan oleh Ashab as-Sunan
yakni Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’I, Ibnu Majah dan Al Hakim dan
termasuk hadits hasan shahih.
Kemudian Rasulullah SAW
juga menganjurkan menjadi pedagang yang jujur dalam haditsnya yang diriwayatkan
oleh At Tirmidzi dengan derajat hadits
hasan yang artinya “Para pedagang
yang jujur lagi dapat dipercaya akan bersama para nabi, siddiqin, dan orang-orang
yang mati syahid”.
Pedagang di pasar
tradisional yang jujur pasti akan melebihkan timbangan bagi pembeli. Dan
pembeli yang mengerti bahwa timbangan oleh pedagang yang jujur pasti dilebihkan
justru memanfaatkan keadaan agar timbangannya menjadi lebih berat dan bahan
pokok atau barang yang dia beli pasti menjadi lebih banyak, meski lebihan
timbangan itu tidak terlalu signifikan. Biasanya ini terjadi kepada ibu-ibu dan
bahan pokok dapurnya. Inilah sebab asal muasal adat baru timbangan yang
‘setengah-setengah’ dengan harga yang dilebihkan.
Timbangan 1/4kg untuk
1kg dengan 4 kali timbangan pasti menjadi lebih dari 1kg. Karena setiap 1/4kg,
pedagang menimbangnya dengan melebihkan timbangan, dan hal ini pasti merugikan
bagi pedagang. Karena barang dagangan yang ia pasok dari produsen menjadi
berkurang tidak semestinya, kemudian hal seperti ini juga merugikan bagi
pembeli yang membeli barang tersebut ketika barang tersebut hanya tinggal
sisanya saja. Padahal misalnya, pembeli yang mendapat barang sisa ini membutuhkan
1kg, maka yang pembeli dapat bukan atau kurang dari 1kg seperti yang ia
inginkan.
Nah, kerugian ini
berlaku untuk pedagang dan pembeli selanjutnya ataupun pembeli terkahir. Maka
pedagang meminimalisir kerugian dari pasokan barang dagangannya yang berkurang
dengan menaikkan atau melebihkan harga apabila membeli dengan takaran yang ‘setengah-setengah’
agar dari uang lebihan tersebut pedagang dapat membeli barang yang sama kepada
pedagang yang lain untuk menggenapkan atau melebihkan timbangan bagi
pembeli-pembeli setelahnya maupun pembeli yang datang ketika pasokan barang
hanya tinggal sisanya saja.
Dan hal ini diperbolehkan karena tidak melanggar
apapun dalam akad jual beli baik rukun maupun syarat. Termasuk unsur yang
terdapat dalam jual beli agar jual beli itu terlaksana dengan baik adalah tukar
menukar tersebut atau suatu barang atau suatu yang dihukumi seperti barang,
yakni bermanfaat dan akadnya tidak saling merugikan bagi kedua belah pihak. Dan
disebutkan dalam Pasal 60 KHES “Kesepakatan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masing-masing pihak, baik
kebutuhan hidup maupun pengembangan usaha”.
Kemudian melebihkan
harga bagi pembeli dalam transaksi ini sebelumnya sudah disebutkan oleh
pedagang kepada pembeli. Dan transaksi ini sudah masuk kategori jual beli yang
baik karena suka sama suka antara pedagang dang pembeli yang tercantum dalam
al-Qur’an “Kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (Q.S.
an-Nisa’ : 29). Jadi, melebihkan harga
tersebut bukanlah riba yang diharamkan oleh syariat melainkan cara pedagang
agar tidak mengalami kerugian dan disepakati oleh pembeli.
Namun, berbeda kasusnya
ketika pembeli membeli langsung 1/2kg dengan 1/2kg timbangan. Maka harga yang
pedagang tetapkan adalah setengah dari harga 1kg.
Melebihkan harga
seperti ini hanya berlaku pada transaksi jual beli dengan timbangan
tradisional, tidak berlaku pada pedagang yang menggunakan timbangan listrik, dan
juga tidak berlaku pada penjual kain. Karena penjual kain tidak menggunakan
timbangan, tetapi menggunakan alat ukur meteran atau yang disebut pita ukur
yang sudah bisa dipastikan digitnya.
4.
Menjual
bubur dengan laba 100% dan menjual buku dengan laba 100%, manakah yang
diharamkan?
Jawaban
:
Sebelumnya saya ingin
bercerita sedikit mengapa saya memilih topik ini menjadi masalah ekonomi dalam
jual beli yang saya bahas selanjutnya.
Saya mengerjakan tugas
ini dengan modal awal mewawancari ibu saya selaku pelaku ekonomi langsung yang
mendatangi pasar setiap harinya, lalu saya diberi banyak masalah ekonomi oleh
ibu saya termasuk masalah bibi saya yang menjadi ulama besar di daerah saya, yang
memiliki majelis ta’lim tetapi menjual kitab dengan laba lebih dari 100%. Ibu
saya memberikan informasi bahwa laba 100% itu tidak boleh apabila dengan satuan
kuantitas yang nyata, namun apabila menjual dengan kuantitas yang sulit
diperhitungkan seperti bubur, es dan lain sebagainya diperbolehkan 100%. Lalu
apakah yang diperbuat oleh bibi saya yang mengetahui banyak landasan hukum
syariat adalah haram? Akhirnya saya memutuskan membahas masalah ini dan mencoba
menebak apakah ibu saya hanya memberikan informasi seperti itu untuk mengecoh
saya.
Di lingkungan
masyarakat beredar syariat simpang siur yang menyatakan bahwa dalam jual beli
tidak diperbolehkan mengambil keuntungan lebih atau sama dengan 100%, dan hal
ini perlu dikritisi serta dikaji ulang.
Mencari keuntungan
dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu yang jaiz dan dibenarkan oleh
syara’. Dan tidak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya
25%, 50%, 100% atau lebih dari modal.
Tingkat laba/keuntungan
berapapun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kedzaliman
dalam prakteknya, maka hal itu dibenarkan
oleh syariat sekalipun mencapai 100% dari modal bahkan beberapa kali lipat. Hal
ini berdasarkan beberapa hadits Rasulullah yang membolehkan mengambil laba
hingga 100%.
Misalnya hadits yang
terdapat pada riwayat Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu
Majah dari penuturan sahabat Urwah Ibnu Ja’d al-Baqiri, dia bercerita : Aku
telah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah SAW untuk membeli seekor kambing.
Kemudian aku membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika aku
menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku dan
menawar kambing tersebut. Maka aku menjual seekor dengan harga satu dinar.
Kemudian aku menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar dan satu ekor
kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan aku ceritakan kejadiannya maka
beliau pun berdoa ; “Ya Allah berkahilah
Urwah dalam bisnisnya”.
Contoh kasus lainnya
adalah jual beli yang dilakukan oleh Zubair bin Awwam salah seorang sahabat
Nabi yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah
‘Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000,
ini artinya Sembilan kali lipat dari harga belinya (Shahih al-Bukhari, nomor
hadits 3129).
Namun Imam Ghazali
dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin menganjurkan
perilaku ihsan dalam berbisnis
sebagai sumber keberkahan yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim
berlaku pada bisnis tersebut di tempat itu. Dan mungkin fatwa ini yang disalah
artikan oleh masyarakat.
Maksud fatwa ini adalah
menyamaratakan harga atau boleh menaikkan harga dengan barang dagangan yang
sama dengan penjual disekitarnya namun dengan harga yang masih terhitung
rasional. Bukan membatasi profit margin penjual.
Jadi, menjual bubur
dengan laba 100% yang kuantitasnya tidak
dapat dihitung ataupun menjual buku dengan laba 100% yang kuantitasnya terlihat
tidak ada yang diharamkan dan
hukumnya diperbolehkan lagi dihalalkan oleh
syariat.
5.
Seseorang
(A) berhutang 10 juta rupiah kepada orang lain (B) melalui perantara (C).
Namun, uang yang dipinjam dipotong 1 juta rupiah untuk upah perantara (C),
tetapi ketika waktu pengembalinnya sudah tiba, maka yang berhutang (B) harus full pay atau membayar penuh hutangnya
termasuk upah perantara.
Jawaban :
Dalam
masalah ini terdapat dua kemungkinan hal yang bisa saja terjadi. Pertama, B sebagai perantara meminta
kepada A agar memberinya upah 1 juta rupiah sebagai syarat untuk B agar mau
meminjamkan uang kepada C. Namun, C sebagai pemberi hutang tidak tahu menahu
tentang akad syarat tersebut. C hanya memberikan hutang sebanyak yang diminta
oleh B, dan menerima pengembalian sebanyak yang ia berikan kepada B. Maka harta
pengembalian milik C hukumnya halal.
Kenapa? Karena C bukan pelaku riba dan tidak tahu akan praktik riba yang
dilakukan oleh A dan B di belakang C.
Kedua, A,
B, C berada dalam satu tempat akad. B sebagai perantara dan C sebagai pemberi
hutang memberi syarat kepada A untuk memotong 1 juta rupiah sebagai tanda
terimakasih, tetapi ketika pengembalian, maka A tetap mengembalikan uang itu
secara penuh termasuk 1 juta rupiah yang dipotong oleh B dan C. Maka B dan C
telah melakukan praktik riba dan harta yang mereka dapat adalah haram hukumnya.
Dua
kemungkinan di atas sebenarnya sama-sama mengandung akad riba dalam hutang
piutang atau dalam Islam sering disebut dengan qardh. Dan segala bentuk kegiatan riba dalam Islam adalah dilarang dan haram hukumnya. ”Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. al-Baqarah : 275).
Kemudian
Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang beriman” (Q.S.
al-Baqarah : 278).
Masalah
hutang piutang dengan riba modern ini sebenarnya adalah pengembangan dari
praktik riba zaman jahiliyah. Sebagai contoh, pada zaman Rasulullah SAW terjadi
masalah riba seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu
yang ditentukan dengan syarat nanti dibayarkan sebanyak 11 keping uang emas.
Sedangkan riba hutang piutang zaman modern adalah memberikan pinjaman 10 juta
rupiah tetapi dipotong 1 juta rupiah sehingga yang berhutang hanya mendapatkan
9 juta rupiah, ketika dibayarkan tetap harus 10 juta rupiah. Ada perberdaan
antara riba versi jahiliyah dan riba versi modern ini. Yaitu, waktu harta riba sampai kepada pemilik uang.
Di zaman jahiliyah, pemilik uang mendapatkan harta ribanya ketika pengembalian.
Sedangkan, di zaman modern harta riba itu sampai kepada pemilik uang ketika
akad hutang dan ketika pengembalian hutang.
Islam
membolehkan adanya hutang piutang, untuk tujuan kebaikan. “Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan
maksiat” (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Al Hakim).
Dalam
Islam hutang piutang dikenal dengan
istilah qardh yaitu pemeberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali. Menurut Kompilsi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES), yang dimaksud qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga syariah
dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran
secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Setiap
akad dalam syariat Islam memiliki syarat, rukun, dan adab. Begitu pula dengan qardh, salah satu adab dalam qardh adalah pembayaran hutang tidak
boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman dan
pengembalian adalah riba. “Boleh ada
kelebihan pembayaran, berupa hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya” (H.R.
Bukhari, Muslim, Abdur Razak)
“Jangan ada syarat lain dalam hutang
piutang kecuali (waktu) pembayarannya” (H.R. Ahmad, Nasa’i)
Sedangkan
sebagian ulama memberikan fatwa bahwa memberikan hadiah atau lebihan saat
pengembalian hutang diperbolehkan dalam dua keadaan.
Keadaan pertama yang diperbolehkan,
jika antara yang menghutangi dan yang dihutangi sebelum terjadinya akad hutang
piutang tersebut, sudah biasa saling memberi hadiah. Artinya, baik mereka
sedang terlibat akad hutang atau tidak, mereka sudah terbiasa saling
menghadiahi. Sehingga hadiah yang diberikan oleh yang berhutang betul-betul
sebagai hadiah, bukan tambahan dari hutang.
Dari
Anas r.a, ia pernah ditanya : “Ada
seorang laki-laki meminjamkan uangnya kepada saudaranya, lalu ia memberi hadian
kepada laki-laki itu (bagaimana itu)?” Anas r.a menjawab : “Rasulullah
SAW pernah bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu meminjamkan sesuatu
kepada kemudian yang diberi pinjaman itu memberi hadiah kepadanya atau dia
dipersilakan naik kendarannya, maka hendaklah ia tidak menaikinya dan hendaklah
ia tidak menerima hadiah itu, kecuali hal itu telah menjadi kebiasaan antara
dia dengan orang yang meminjami sebelum itu” (H.R. Ibnu Majah).
Keadaan kedua yang diperbolehkan,
jika yang dihutang adalah selain uang, misalnya hewan atau kendaraan.
Dari
Abu Hurairah r.a, ia berkata : “Rasulullah
SAW pernah pinjam onta, kemudian beliau membayar dengan onta yang lebih baik
daripada onta yang dipinjam” lalu beliau bersabda, “Sebaik-baik di antara kamu adalah yang lebih baik dalam membayar
pinjaman” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
Komentar
Posting Komentar