MAKALAH : 'UQUBAH DAN TA'ZIR
MAKALAH
‘UQUBAH DAN TA’ZIR
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Fikih
Jinayah
Dosen: Achmad Otong Busthomi,
Lc, M.Ag
Disusun oleh Kelompok 2
AHMAD FAUZAN NADJIULLAH 1415203006
ATIEQ FAUZIATI 1415203018
DELA NURMALASARI 1415203029
ANNISA NUURAINI 1413232057
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kejahatan
ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Disisi lain manusia ingin
tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan
jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap
langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang
dibenarkan (halal) dengan perbuatan yang disalahkan (haram).
Dalam
ajaran islam pembahasan tentang kejahatan manusia beserta sanksinya telah dijelaskan
di dalam fikih jinayah, yang dikenal dengan sebutan jarimah, jinayah, dan
‘uqubah serta ta’zir.
Dalam
makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai
dengan perbuatannya itu. Maka dari itu di dalam makalah ini akan dibahas
mengenai ‘Uqubah dan Ta’zir atau yang seringkali dikenal dengan sebutan
macam-macam hukuman.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian ‘uqubah?
2. Apa saja macam-macam ‘uqubah?
3. Berapa banyak ‘uqubah dalam syariat
Islam?
4. Apa saja yang dapat membatalkan
‘uqubah?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ‘uqubah.
2. Untuk mengetahui macam-macam
‘uqubah.
3. Untuk mengetahui banyaknya ‘uqubah.
4. Untuk mengetahui apa saja penghalang
‘uqubah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Uqubah
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, hukuman berarti
siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam bahasa Arab hukuman
disebut dengan iqab dan ‘uqubah, yang pada dasarnya mempunyai
pengertian yang sama.
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, ‘uqubah
(hukuman) itu adalah pembalasan yang telah ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat
atas pelanggaran perintah pembuat syariat (Allah dan RasulNya).[1]
Adapun hukuman secara bahasa berarti
siksa, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, bahwa kata hukum biasanya
diungkapkan dengan kata “siksa”. Misalnya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 178 yang Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita, Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendak (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.”[2]
‘Uqubah atau sanksi hukuman dalam sistem hukum pidana
Islam terbagi kepada tiga kategori utama yaitu ‘uqubah hudud, ‘uqubah qishash
dan diyat dan ‘uqubah ta’zir. Perbedaan antaranya adalah, ‘uqubah hudud,
qishash dan diyat ditentukan jelas oleh nash al-Qur’an dan sunnah. Sedangkan ‘uqubah
ta’zir ditentukan oleh pemerintah.
B. Macam-macam ‘Uqubah
Macam-macam hukuman
(‘uqubah) dapat dikategorikan menjadi beberapa hal tergantung dari sudut
pandang, diantaranya :
Dari segi hubungan diantara hukuman-hukuman
tersebut. Dalam hal ini ada empat kategori, yaitu :
1. Hukuman Pokok
Adalah hukuman asal yang telah ditetapkan untuk suatu
jarimah karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, dan
menyimpang dari jalan yang lurus. misalnya hukuman potong tangan untuk
pencurian dll.
2. Hukuman Pengganti
Adalah hukuman yang menggantikan hukuman pokok jika
hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena suatu sebab yang diakui sah oleh
hakim karena adanya saksi atau ma’fu,
seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash.
3. Hukuman Tambahan
Adalah hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa
memerlukan keputusan tersendiri dari pengadilan, seperti larangan pembunuh
memperoleh harta warisan orang yang dibunuhmya (apabila yang dibunuh adalah
anggota keluarga), sebagai tambahan dari hukuman qishash.
4. Hukuman Pelengkap
Adalah hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan
syarat ada keputusan tersendiri dari hakim. Contohnya, penggantungan tangan
pencuri yang telah dipotong dilehernya.
Dari segi kekuasaan hakim dalam menentukanya.
Dalam hal ini hukuman dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.
Hukuman yang Mempunyai Satu Batas
Yaitu hukuman yang hakim tidak boleh menambah ataupun
menguranginya meskipun bisa ditambah ataupun dikurangi. Contoh, hukuman celaan
dan nasihat.
2.
Hukuman yang Mempunyai Dua Batas
Yaitu hukuman yang mempunyai batas terendah dan batas
tertinggi dan hakim diberi kekuasaan untuk memilih kadar yang sesuai menurutnya,
seperti hukuman penjara dan hukuman cambukan dalam hukuman ta’zir.
Dari segi kewajiban menghukum. Dalam hal ini
dapat dibagi menjadi dua kategori juga yaitu:
1.
Hukuman yang Telah Ditetapkan
Adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh syariat baik
macam dan kadarnya sedangkan hakim wajib menjatuhkanya tanpa mengurangi atau
menambahi ataupun menukarnya. Hukuman ini disebut pula hukuman lazimah
(mengikat) karena penguasa tidak bisa menggugurkanya ataupun memaafkannya.
2.
Hukuman yang Tidak Ditetapkan
Adalah hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk
memilih macam dan kadarnya menurut kebijaksanaanya sesuai dengan situasi
jarimah dan kondisi dari pelaku jarimah. Hukuman ini disebut juga hukuman mukhayyarah
(pilihan) karena hakim diperbolehkan memilih salah satu diantaranya.
Jika dilihat dari segi sudut pandang sasaranya,
hukuman dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1.
Hukuman badan
Adalah hukuman yang
dijatuhkan atas badan, misalnya hukuman mati, cambukan, kurungan dll.
2.
Hukuman jiwa
Adalah hukuman yang
dikenakan atas jiwa manusia bukan badannya, misalnya hukuman nasihat, celaan,
ancaman dll
3.
Hukuman harta
Adalah hukuman yang
dikenakan terhadap harta seseorang, misalnya hukuman diyat, denda, perampasan
harta dll
Ditinjau dari sisi macamnya
jarimah, hukuman dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Hukuman Hudud
Adalah hukuman yang
telah ditetapkan untuk jarimah hudud, yang mana merupakan hak prerogatif Allah
SWT yang termaktub dalam Alquran. Dalam hal ini hakim hanya menjalankan apa
yang sudah ditetapkan Allah dan tidak boleh menambah ataupun menguranginya.
Jarimah hudud ada tujuh macam, yakni :
a.
Jarimah Zina
b.
Jarimah Qadzaf
c.
Jarimah Syurb al-Khamr
d.
Jarimah Pencurian
e.
Jarimah Hirabah
f.
Jarimah Riddah
g.
Jarimah al-Baghyu
2. Hukuman Qishash wa Diyat
Adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT dan Rasul Nya untuk jarimah qishash wa diyat. Sedangkan qishash wa
diyat adalah nama untuk dua macam hukuman yakni hukuman qishash dan hukuman
diyat. Hukuman qishash wujudnya adalah pembalasan yang serupa sedangkan diyat
adalah pembayaran ganti rugi dari si pelaku kepada korban atau keluarga korban.
Jarimah qishash dan diyat ini hanya ada dua macam, yakni pembunuhan dan
penganiayaan.
3. Hukuman Kaffarat
Adalah hukuman yang telah
ditentukan sebagian dari qisas jarimah wa diyat dan sebagian jarimah ta’zir.
Wujud dari hukuman ini adalah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bernilai
kebaikan (amal shalih), contohnya mengerjakan puasa selama waktu tertentu,
memerdekakan budak dll.
4. Hukuman Ta’zir
Adalah hukuman yang
telah ditentukan untuk jarimah ta’zir. Bentuknya bermacam-macam tetapi
penentuanya diserahkan kepada pihak yang berwenang yaitu lembaga legislatif
atau hakim. Menurut al Mawardi ta’zir adalah
hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara.[3]
C. Ta’adud ‘Uqubah (Banyaknya ‘Uqubah)
Pandangan islam
terhadap banyaknya ‘uqubah ini didasarkan pada dua teori yaitu :
1.
Teori Tadakhul
Ialah jika jarimah itu dalam keadaan banyak maka
hukuman sebagiannya masuk kedalam sebagian yang lain sehingga keseluruhan
jarimah itu hanya dihukum dengan satu hukuman saja.
2.
Teori Jabb
Ialah melaksanakan satu hukuman saja yang dengan
pelaksanaan itu menghalang pelaksanaan hukuman – hukuman yang lain.[4]
D. Pelaksanaan ‘Uqubah
Pada dasarnya pelaksana
‘uqubah ini adalah penguasa atau wakilnya, namun dalam kondisi kasus-kasus
tertentu si korban atau walinya juga mempunyai hak untuk melaksanakan hukuman
itu sendiri terhadap si pelaku jarimah.[5]
E. Tujuan Penjatuhan ‘Uqubah
Tujuan pokok dalam
penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah Pencegahan dan Pengajaran serta Pendidikan.
Pencegahan ialah
menahan pelaku agar tidak mengulagi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak
terus menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain
pelaku agar ia tidak memperbuat jarimah. Dengan demikian, maka kegunaan
pencegahan adalah rangkap. Yaitu menahan terhadap pelaku sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatannya, menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan
menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Selain mencegah dan
menakut-nakuti, Syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya
terhadap diri pelaku. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan
terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia
terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran dan
kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya agar
mendapat ridho Allah SWT.
F. Hal-hal yang Membatalkan dan Menghapus ‘Uqubah
Pembatalan ‘uqubah
ialah tidak dapat dilaksanakannya hukuman yang telah dijatuhkan, berhubung
tempat (badan atau bagiannya) untuk melaksanakan sudah tidak ada lagi, atau
waktu pelaksanannya sudah lampau, atau keadaan lain yang berhubungan dengan
mental dan psikis terhukum.[6]
Hal-hal yang
menyebabkan batalnya ‘uqubah :
1. Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan
perampasan harta.
2. Hilangnya anggota badan yang harus dikenakan hukuman, maka hukumannya
berpindah pada diyat dalam kasus jarimah qishash.
3. Taubat. Dalam kasus ini pengadilan boleh memberikan hukuman ta’zir apabila
kemaslahatan umum menghendakinya.
4. Pemaafan. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Amar bin Syuaib dari
ayahnya dan kakeknya, bahwa Nabi SAW, bersabda: “Saling memaafkanlah kamu atas hukuman-hukuman yang masih berada di
tangan kalian. Manakala perkaranya telah sampai ke tanganku, maka wajib
melaksanakan hukuman.”
5. Diwariskanya qishash.
6. Kadaluwarsa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perbedaan antara ‘uqubah, hudud dan
ta’zir adalah ‘uqubah sendiri berarti hukum secara keseluruhan, hudud adalah
hukuman yang sudah ditetapkan dalan nash dan tidak boleh dirubah baik ditambah
maupun dikurangi, sedangkan ta’zir adalah hukuman yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Kejahatan
Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam.
Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak
mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan
dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman hudud. Sementara qishosh
berada pada posisi diantara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir
sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jenis-jenis hukuman yang lain.
Akan
tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan. Pada
dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya
hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat
badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau
waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun
sebab-sebab yang menyebabkan dihapuskannya hukuman ialah:
a. Meninggalnya si pelaku.
b. Hilangnya anggota badan yang akan di
qishas.
c. Tobatnya pelaku.
d. Perdamaian.
e. Pengampunan.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Departemen
Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahan.
Hanafi, Ahmad. 2005. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta :
Bulan Bintang.
Dzajuli, A. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad
Umar Ibnu al Khattab. Jakarta : Rajawali Pers.
[1]Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta,
2006, h. 49
[3]Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005, cet. 6, h.268-270
[4]A. Dzajuli, Fiqh
Jinayah, Raja Grafindo Persada, 1997, Jakarta, cet. 2, h.53
[5]Amiur Nuruddin,
Ijtihad Umar Ibnu al Khattab, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, h.79
[6]Abul A’la al
Maududi, Prinsip-prinsip Islam, al Ma’arif, Bandung, 1991, h.56
Komentar
Posting Komentar