RAWI, SYARAT RAWI, TAHAMMU WA AL - ADA'
TUGAS
STRUKTUR
PENGANTAR
STUDY HADIST
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Pengantar
Study Hadits
Dosen: Drs. H. Wasman, MA
Disusun oleh Kelompok 10
ANITA KHAERUNISAH 1415203013
ATIEQ FAUZIATI 1415203018
CHIESA YORIZATIVA 1415203024
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI
ISLAM
PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT, Tuhan sumber segala ilmu
pengetahuan yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya. Shalawat dan
salam selalu terlimpah curahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Study
Hadist. Tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini khususnya
Bapak H. Wasman, MA, karena
berkatnya lah kami dapat menyusun makalah ini.
Makalah
ini disusun agar pembaca dapat memperluas kaitannya dengan Syarat-Syarat Perawi Hadist dan Tahammul wa al-ada’,
yang penulis sajikan dari berbagai
sumber informasi dan referensi.
Makalah ini disusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
sendiri maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya teman-teman IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Penulis sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis menerima berbagai saran maupun kritikan yang bersifat
membangun. Akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para
pembaca.
Cirebon, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI........................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................... 1
C.
Tujuan............................................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN...................................................................................... 2
2.1 Rawi............................................................................................................ 2
2.2
Syarat-Syarat Rawi..................................................................................... .. 2
2.3 Tahammu
wa Al-ada’…………………………………………………….... 4
BAB III PENUTUP............................................................................................. 10
Kesimpulan....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semua umat
Islam telah sepakat dengan bukat bahwa Hadist Rasul adalah sumber dan dasar
hukum Islam setelah Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan
mengamalkan hadist sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur’an.
Al-Qur’an
dan hadist merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang
Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat secara mendalam dan lengkap
tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang
ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah
satu keduanya.
Banyak kita
jumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist yang memberikan pengertian bahwa
hadist merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti, dan
diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
Hadist itu
sendiri secara istilah adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik perkataan, segala keadaan, atau perilakunya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa saja syarat
– syarat seorang perawi?
2.
Apa yang
dimaksud dengan Tahammu wa Al – Ada’?
3.
Apa saja
macam – macam dari Tahammu wa Al – Ada’?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui apa syarat – syarat seorang
perawi sebelum dibolehkan meriwayatkan suatu hadits
2. Untuk mengetahui pengertian dan pembagian
Tahammu wa Al – Ada’
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Rawi
Kata
rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[1] Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan.
Rawi
harus benar – benar memiliki
pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli
ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya,
memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Perawi
dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits
tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan
suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya
sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat
diperlukan ummat Islam.
Perawi
harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut
diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat
“Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di
perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak
merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini
hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi.
Kebolehan
periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits
nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits. Harus dengan lapadz.
Kedudukan boleh tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak
sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya.
Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz
tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan
makna.
2.2 Syarat-Syarat Rawi
Berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat
syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima.
apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan
ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama
maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih
lanjut. Berikut ini syarat – syarat
rawi :
a.
Berakal
Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan
kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan
menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil baligh[2]
Sahabat yang paling banyak menerima riwayat,
yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin
Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah
menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia
5 tahun[3].
b.
Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia
riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal
cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan.
Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat
didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist
yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan[4]
Syu’bah
al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh
pula”[5]. Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat
dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka
hanya mau mengutip hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan hanya dari
riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar[6].
c.
Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan
berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari
hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi
adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang
diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi
dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan
pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak
kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut
maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui
kejujuranya[7].”
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan
bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan
penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang
merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya
sendiri[8].
Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus
dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran
ukuran moral seorang rawi.
d.
Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang
rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist
atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam.
Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang
semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika
seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya[9].
2.3
Tahammuwa al – ‘ada
A.
PengertianTahammuwa al – ‘ada
Al
– Tahammul adalah kegiatan menerima dan mendegar suatu periwayatan hadits. Sedangakan Al –
‘Ada adalah kegiatan menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadits kepada orang lain.
a. Al-Tahammu
Para
Ulama mengidentifikasi cara pengambilan hadits dari para rawi menjadi delapan macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara panjang lebar, yang garis besarnya sebagai berikut :
1.
Sama’
Min Lafdzi Syaikhihi
(شيخه لفظ من السماع)
Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara mendengar langsung dari ucapan gurunya, baik dengan cara didiktekan dari hafalannya maupun dari tulisannya.
Menurut jumhur ulama hadits, cara seperti ini adalah cara yang paling tinggi nilainya. Karena dengan cara seperti inilah yang dilakukan sahabat Nabi untuk menerima hadits Rasulullah SAW, dan terpelihara dari kekeliruan dan lupa.
Lafadh
– lafadh yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar “sama’” adalah :
اخبرني - اخبرنا
(Seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami)
حدثني - حدثنا
(Seseorang telah bercerita kepadaku / kami)
سمعت - سمعنا
(Saya telah mendengar / kami telah mendengar)
2.
Al
– Qiraah ‘Ala Syaikhihi (شيخه على القراءة)
Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara sipembaca membacakan hadits di hadapan gurunya, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang
membacakannya sedangkan ia sendiri yang mendengarkannya.
Lafadh
– lafadh yang sering digunakan oleh seorang perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar Al – Qiraah ‘Ala
Syaikhihi adalah
:
عليه
قرأت
(Saya telah membacakan di hadapannya)
اسمعو
انا فلان
على قرئ
(Dibacakan oleh seseorang di hadapan gurunya, sedangkan aku mendengarkannya)
3.
Ijazah
(الاجازة)
Yaitu penerimaan hadits dengan cara pemberian izin kepada orang lain untuk meriwayatkan haditsnya atau kitab-kitabnya. Kebanyakan para muhaditsin tidak memperbolehkan periwayatan dengan cara ijazah seperti ini,tetapi ada sebagian ulama yang lain memperbolehkan.
Lafadh-lafadh yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar ijazah adalah:
عنى
لفلاني الكتابر
واية لك
اجزت
(Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya)
مرويتيا
ومسمو عتي
جميع لك
اجزت
(Aku ijazahkan kepadamu seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan)
مسموعتي
جميع للمسلمين
اجزت
(Aku ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin semua apa-apa yang saya dengar)
4.
Munawalah
(
المناولة)
Yaitu penerimaan hadits dengan cara seorang guru memberikan sebuah naskah asli atau salinan yang sudah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.
Penerimaan hadits atas dasar munawalah ini mempunyai dua macam bentuk,yaitu:
Pertama, Dengan disertai ijazah. Yaitu setelah seorang guru menyerahkan kitab asli atau salinannya, kemudian mengatakan:
فاروه
فلان عن
او روايتي سماعي
هذا
"Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkan lah"
Kedua, tanpa disertai ijazah.Yaitu ketika naskah asli atau salinannya diberikan kepada muridnya tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk meriwayatkannya.
Guru itu mengatakan:
روايتي
اومن سماعي
هذا
"Ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku"
5.
Mukatabah
(المكاتبة)
Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya.
Cara mukatabah ini seperti juga munawalah ada yang disertai ijazah dan ada yang tidak disertai ijazah.
6.
Wijadah
(الوجادة)
Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya baik dengan lafadh sama', qiraah atau yang lainnya dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut.
7.
Washiyah
(الوصية)
Yaitupenerimaanriwayathaditsdengancarapesanseseorangketikaakanmeninggalduniaataubepergian,dengansebuahkitabuntukdiriwayatkannya.
8.
I'lam
(الاعلام)
Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan atau menyuruh si murid untuk meriwayatkannya.
b. Al-'Ada
Berikutmacam-macam cara penyampaian riwayat hadits, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga.Yaitu:
A.
Cara
Penyampaian
Riwayat
Hadits
Qauli
Sahabat-sahabat Nabi dalam menerima hadits qauli (sabda) Rasulullah ada yang mendengar secara langsung dari Nabi, ada yang mendengar secara tidak langsung yaitu mendengar dari sahabat-sahabat Nabi yang lainnya.
Ada beberapa macam lafadh yang biasa dipakai oleh para sahabat dalam menyampaikan periwayatan hadits qauli:
1.
Bentuk
pertama
dengan
lafadh
:
وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول سمعت
(Saya mendengar Rasulullah SAW...)
...وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول اخبرني
(Rasulullah SAW mengabarkan kepadaku...)
...وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول حدثني
(Rasulullah SAW menceritakan kepadaku...)
Cara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh-lafadh seperti ini merupakan cara yang paling pokok karena menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut betul-betul menerima secara langsung, berhadapan dengan Rasulullah SAW.
2.
Bentuk
kedua
dengan
lafadh
:
...وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول قال
(Rasulullah SAW
bersabda...)
...وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول امر
(Rasulullah SAW
memerintahkan...)
...وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول نهى
(Rasulullah SAW
melarang...)
Cara penyampaian periwaatan hadits
denga lafadh - lafadh semacam ini menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan
hadits tersebut tidak mendengar langsung dari Rasulullah, tapi kemungkinan
melalui perantara sahabat lain.
3.
Bentuk
ketiga dengan lafadh :
بگذا
امرنا
(Kami disuruh
begini...)
بگذا
نهينا
(Kami dilarang begini...)
Cara penyampaian periwayatan hadits
dengan lafadh - lafadh semacam ini menunjukkan bahwa kemungkinan sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut tidak mendengar perintah atau larangan Nabi secara
langsung dari beliau, akan tetapi melalui perantara orsng lain, bahkan
kemungkinan hanya merupakan kesimpulan atau pemahaman sahabat sendiri.
B.
Cara
Penyampaian
Riwayat
Hadits
Fi'li
Para sahabat Nabi dalam menerima hadits fi'li, ada kalanya melihat sendiri secara langsung apa yang dilakukan Rasulullah, dan adakalanya melalui perantara sahabat lain.
Ada beberapa lafadh yang sering digunakan dalam penyampaian periwayatan hadits fi'li diantaranya:
1.
Bentuk
pertama
dengan
lafadh
:
...وسلم
عليه الله
صلى الله
رسول رايت
(Saya melihat Rasulullah SAW...)
Cara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh ini menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut benar-benar secara langsung melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Cara seperti ini merupakan cara yang paling pokok.
2.
Bentuk
kedua
dengan
lafadh
:
...وسلم
عليه الله
صلى النبي
كان
(Adalah Nabi SAW...)
...وسلم
عليه الله
صلى النبي
ان .ان
(Sesungguhnya Nabi SAW...)
Cara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh ini menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut tidak melihat secara langsung apa yang dilakukan oleh Rasulullah, tapi ada kemungkinan melalui perantara sahabat lain.
3. Adakalanya
seorang
sahabat
menyebutkan
secara
lansung
apa
yang
dilakukan
Rasulullah,
tanpa
diawali
dengan
lafadh
:
"Aku
melihat
Rasulullah
SAW......."
atau
"Adalah
Rasulullah
SAW........"
atau
"Sesungguhnya
Rasulullah
SAW........."
C. Cara
Penyampaian
Riwayat
Hadits
Secara
Ma'nawi
Para sahabat Nabi ada yang menyampaikan periwayatan hadits tidak persis sebagaimana yang diucapkan Rasulullah, melainkan hanya dengan ma'nanya saja. Maksudnya apa yang diucapkan Rasulullah itu hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan atau diriwayatkan oleh para sahabat tersebut dengan lafadh atau redaksi susunan kata-kata mereka sendiri.
Hal ini disebabkan karena daya ingat para sahabat berbeda-beda, ada yang kuat dan ada yang lemah. Atau karena masa yang sudah lama dari apa yang diucapkan Rasul, sehingga paham maksudnya tapi kalimat yang diucapkannya tidak ingat.
Kebanyakan hadits diriwayatkan dengan cara ini (secarama'nawi), dan sedikit yang diriwayatkan secara lafdhi. Oleh karena itu sering dijumpai hadits-hadits yang maksudnya sama, akan tetapi lafadh atau matan hadits-hadits tersebut berbeda.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa
al-ada’ di atas dapat kami ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4
yaitu : berakal, cakap/cermat, adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus
dipenuhi oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka hadistnya
akan ditolak dan tidak akan di pakai.
DAFTAR PUSTAKA
Al Naisaburi, Al
Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia.
Al Shan’ani,
Muhammad,. 1998. Taudlih al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vol 1,
Beirut : Dar Ihyaul Turats al Arabi,
Sahrani, Sohari.
2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia
Thahhan, Mahmud.
2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press
Uwayd ,Salah
Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-Kutub
al-Imliyyah
Shobirin.
2013. Ilmu Hadits. Jakarta : Dharma
Bhakti, cet 2
[4] Salah Muhammad Muhammad
Uwayd. Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub
al-Imliyyah, 1989) hal 110
Komentar
Posting Komentar