MUSHAF UTSMANI
TUGAS TERSTRUKTUR
MUSHAF UTSMANI
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah PENGANTAR STUDY AL-QUR’AN
Dosen: Ubaidillah. S. Ag. MHI
Disusun oleh Kelompok III
ARIE FEBRIANTO 1415203014
ATIEQ FAUZIATI 1415203018
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT. yang telah menurunkan Nabi Muhammad SAW. untuk umatnya di dunia
ini sebagai petunjuk untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan
abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang,
yakni dengan tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat
dan Anugrah Allah SWT., makalah Pengantar Studi Al-Quran ini dapat diselesaikan. Kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas terselesaikannya
makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi saran
perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan kesempurnaan. Adapun harapan kami,
semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.
Cirebon,
September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI........................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar
Belakang Masalah............................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah........................................................................................ 1
1.3 Tujuan........................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN..................................................................................... 2
2.1 Persiapan dan Tata Cara Utsman dalam Penyusunan Mushaf.................... 2
2.2 Penentuan
dan Pendistribusian Mushaf Utsmani........................................ 6
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 7
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 8
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.Persiapan
dan Tata Cara Utsman dalam Penyusunan Mushaf
Semakin meluasnya daerah
kekuasaan Islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar
dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan al-Qur'an
di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan
faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman
telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di
setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam membaca
al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan
Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari.
Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan.
Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya.
Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat
dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi
Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman guru-pengajar
menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak
didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya
masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling
mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya
mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang
yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Karena latar belakang dari
kejadian tersebut, Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran
pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan prefentif menambal pakaian
yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat
pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik
cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan
perselisihan.
Sebagai khalifah yang
ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi tersebut dan memerintahkan
dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk bahasa Quraisy, dan Utsman
menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin pembakuan
al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab
kehancuran harmonisan dalam komunitas muslim.
Mereka semua sependapat
agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian mengirimkannya
ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang
membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada
pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan al-Qur'an.
Dengan ditugaskannya empat
orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu merupakan sebuah langkah konkret
untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi. Apabila masa-masa dua khalifah
sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya disimpan di rumah, maka Ustman melihat
perlunya memasyarakatkan mushaf itu.
Langkah Utsman memang lebih
tepat dianggap memasyarakatkan Mushaf Abu Bakar sekaligus menyatukan bacaan.
Alasannya yaitu karena Utsman tetap menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam
panitia. Zaid yang sejak zaman Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung dalam
penulisan dan penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan di dalam panitia ini
lebih banyak bereperan ketimbang tiga anggota panitia lainnya. Sehingga
kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan atau hilangnya kalimat tertentu
dapat ditekan sampai pada titik nol dan keaslian al-Qur’an tetap terjamin.
Zaid pun juga mengumpulkan
bahan al-Qur’an yang terdapat pada daun kering, dan hafalan para sahabat
Rasulullah. Caranya adalah dia mendengarkan dari orang-orang yang hafal,
kemudian dicocokkannya dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut.
Dia tidak mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokkan
kepada yang ditulis.
Dia hanya menerima catatan
yang mempunya dua syahid, yaitu dua saksi. Cara itu lebih menjamin daripada
hanya hafalan belaka. Disamping itu Zaid sendiri termasuk orang yang hafal
al-Qur’an. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan berdasarkan keputusan Khalifah
Abu Bakar, dalam pesannya kepada Zaid bin Tsabit dan Umar, Abu Bakar
mengatakan:
اُقْعُدَا عَلَى بَابِ المَسْجِيْدِ. فَمَنْ
جَاءَ كُمَا بِشَاهِدَيْنِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ فَاكْتُبَاهُ
Artinya:
“Duduklah
kalian dipintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an
dengan dua saksi maka catatlah”.
Menurut tokoh hadis yang
dimaksud dua saksi atau syahidain disini tidak harus keduanya dalam bentuk
hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat
tertentu itu, sudah diterima ayatnya apabila ayat yang disodorkan kepada tim
didukung oleh dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga suatu
hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila
dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.pengertian Ibnu
Hajar tentang syahidain ini sedikit berbeda, yaitu catatan sahabat tertentu
mengenai ayat tertentu seorang sahabat sudah dapat diterima bila memiliki dua
saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan
Rasulullah.
Al-Qur’an yang telah
dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushaf”, dan panitia menulis lima buah
al-Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah,
agar di tempat-tempat itu disalin pula masing-masing Mushhaf itu, dan satu buah
ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinamai dengan “Mushhaf Al-Imam”.
Sesudah itu Utsman
memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an
yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Ia khawatir kalau mushaf yang bukan
salinan “Panitia Empat” itu beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang
peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an. Karena
merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga
beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Utsman mengatakan kepada
mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka
tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa
Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafshah binti Umar agar ia mau menyerahkan
mushhaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu
Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan
lagi, Hafshah mengabulkannya.
Umar bin Shabba
meriwayatkan melalui Sawwar bin Shabib: saya masuk ke kelompok kecil untuk
bertemu dengan Ibn az-Zubair, lalu saya menanyakan kepadanya kenapa Utsman
memusnahkan semua naskah kuno al-Qur’an?. Dia menjawab “pada zaman pemerintahan
Umar ada pembual bicara yang telah mendekati khalifah memberitahukan kepadanya
bahwa orang-orang telah berbeda dalam membaca al-Qur’an. Umar menyelesaikan
masalah ini dengan mengumpulkan semua salinan naskah al-Qur’an dan menyamakan
bacaan mereka, tetapi menderita yang sangat fatal akibat tikaman manut sebelum
beliau dapat melakukan upaya lebih lanjut. Pada zaman pemerintahan Utsman, orang
yang sama datang untuk mengingatkannya masalah yang sama dimana kemudian Utsman
memerintahkan untuk membuat mushaf tersendiri. Lalu dia mengutus saya menemui istri
Nabi Muhammad SAW, Aisyah, agar mengambil kertas kulit (suhuf) Nabi Muhammad SAW. Dan ia sendiri telah
mendiktekan keseluruhan Al-Qur’an. Mushaf yang dikumpulkan secara independen
kemudian dibandingkan dengan suhuf ini, dan setelah melakukan koreksi terhadap
kesalahan-kesalahan yang ada, kemudian ia menyuruh agar semua salinan naskah
al-Qur’an itu dimusnahkan.
Walaupun riwayat ini dianggap
lemah menurut ukuran para ahli hadis, tapi ada gunanya dalam menyebutkan
riwayat ini yang menerangkan pengambilan suhuf yang ada dibawah pengawasan atau
penjagaan Aisyah. Riwayat dibawah ini bagaimanapun menguatkan riwayat-riwayat
sebelumnya. Ibn Shabba meriwayatkan dari Harun bin Umar, yang mengaitkan bahwa:
“Ketika Utsman hendak membuat salinan (naskah) resmi, dia meminta Aisyah agar
mengirimkannya kertas kulit (suhuf) yang dibacakan oleh Nabi Muhammad yang disimpan
dirumahnya. Kemudian dia menyuruh Zaid bin Tsabit membetulkan sebagaimana
mestinya, pada waktu itu beliau merasa sibuk dan ingin mencurahkan waktunya
mengurus masyarakat dan membuat ketentuan hukum sesama mereka.
Maka dari mushaf yang
ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-Qur’an
itu. Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang masih ada karena bacaan-bacaan
yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan
bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam
mushaf-mushaf yang ditulis di masa Utsman itu.
Dengan demikian
keistimewaan pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman itu adalah:
a. Adanya
penyerdahanaan dialek dari tujuh dialek menjadi satu dialek. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
berkata: Utsman mengumpulkan manusia diatas satu dialek dari yang semula tujuh
dialek, yang oleh Rasul telah dimutlakkan sebagai bacaan umatnya, ketika hal
itu masih merupakan maslahah.
b. Mengembalikan
bacaan yang telah dihapus. Utsman bermaksud menyatukan mushaf umat. Bacaanya
tidak ada yang dihapus, ditulis dengan bentuk yang kokoh, dan mewajibkan umat
membaca dan menghafalnya, (karena) dikhawatirkan masuknya kerusakan dan
kesamaran pada generasi selanjutnya.
c. Peringkasan
terhadap apa yang ditetapkan pada pemeriksaan terakhir dan membuang selain hal
tersebut.
d. Peringkasan
terhadap bacaan-bacaan yang telah kuat dan dikenal dari Rasulullah dan
pembatalan hal-hal yang belum kuat.
e. Susunan
ayat dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).
Utsman memutuskan agar
mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a. Harus
mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b. Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinaskah dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c. Kronologi
surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman.
d. Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.
e. Semua
yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf
sebagian sahabat dimana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau
penjelasan nasikh-mansukh.
Kaum muslimin sepakat bahwa
seluruh mushaf yang dibagikan Utsman ke berbagai penjuru negeri, berapapun
jumlahnya adalah mushaf yang sama dan mencakup semua isi al-Qur’an, yang diterima
dari Nabi Muhammad. Mushaf tersebut berisi 114 surat, naskah tersebut tidak
memiliki titik dan syakal (harokat), dan tidak pula memiliki tanda-tanda lain
yang kita kenal dimasa ini. Bahkan menurut pendapat yang populer, ia tidak pula
memiliki nama-nama surat dan bagian-bagian yang memisahkannya satu sama lain.
Kendati nasib semua mushaf
tersebut tidak diketahui secara pasti, namun Ibn Katsir pernah melihat mushaf
Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir mengatakan sebagai berikut : adapun mushaf
Utsmaniyah yang diakui sebagai Mushaf Imam maka yang termasyhur sekarang ini
adalah yang terdapat di Syam dan tersimpan di Masjid Jami’ Damaskus. Dulu mushaf
tersebut disimpan di kota Thibriyyah, kemudian dipindahkan ke Damaskus pada
akhir tahun 518 H. sungguh saya telah menyaksikan sendiri kitab agung dan mulia
dengan tulisan tangan yang indah, jelas dan kuat, yang menggunakan tinta yang
tahan luntur, dan ditulis di atas lembaran-lembaran yang saya duga adalah kulit
unta
Perlu diketahui bahwa
sebelum masa Utsman, telah terjadi perselisihan mengenai bacaan al-Qur’an, baik
di daerah-daerah maupun di Madinah, setiap guru mempunyai bacaan tersendiri
sehinggah anak-anak yang menerima pelajaran pun menjadi berselisih.
Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian disampaikanlah kasus itu
oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat khawatir, kemudian
menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut: “Kamu sekalian yang
dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an dan salah bacaan,
apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin, mereka lebih
hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca al-Qur’an.
Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam untuk
manusia”.
Karena itulah mushaf Utsman
dinamakan Al-Imam, Utsman telah mengirimkan naskah mushaf ini ke beberapa
daerah dan memerintahkan agar membakar semua mushaf selain mushaf Utsman. Ibn
Fadhli al ‘Umariy dalam kitabnya Masaliku I’Abrar ketika
menerangkan sifat masjid Damaskus, berkata: ”Disebelah kirinya terdapat mushaf
Utsmaniy yang ditulis Amirul Mu’minin. Mushaf Utsmaniy ini berada di masjid
Damaskus pada masa al ‘Umary hingga abad 8 H. Para peneliti peninggalan bangsa
Arab menegaskan, mushaf inilah yang dipelihara di perpustakaan Leningrad,
kemudian dipindahkan ke Inggris dan tetap disana hingga sekarang
Pembakuan teks al-Qur’an
pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada suatu saat antara 650 hingga
wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik utama dalam apa yang
biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-Qur’an. Bagaimanapun bentuk
al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab yang di tangan kita sekarang
merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di bentuk Utsman menentukan
apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti dikeluarkan, organisasi
mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka konsonantal (bentuk teks
ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan).
B. Penentuan dan
Pendistribusian Mushaf Utsmani
Setelah menyalin dari
mushaf Hafsah, khalifah Utsman membacakannya di hadapan para sahabat dan
memerintahkan kepada mereka untuk membuat duplikat untuk kepentingan mereka
masing-masing. Kemudian Mushaf tersebut dikirimkan ke berbagai wilayah
kota-kota besar beserta peembaca Al-Qur’an untuk menerangkan bagai mana
bacaan yang benar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW, karena
pada saat itu belum adanya tanda baca seperti saat ini, serta mencegah
timbulnya perselisihan dalam bacaan Mushaf tersebut, Khalifah Utsman
memerintahkan agar membakar mushaf selainya. Zaid bin Tsabit dikirim kemadinah,
Abdullah bin As-Sa’bi ke Mekah, Al Mughirah bin Shihab ke Suriah, Amir bin Abdi
Qais ke Basrah dan Abu Bakar As-Sulaiman ke Kufah.
Mushaf Utsmani
dijadikan lima buah Naskah, akan tetapi ada yang mengatakan tujuh buah naskah.
Lima ima buah naskah tersebut dikirim ke berbagai kota diantaranya : Makkah,
Syam, Kuffah, Bashrah, dan satunya lagi disimpan oleh Khalifah Utsman. Dan dalm
riwayat lain yang yang tujuh buah naskah sebagai tambahan ialah satu mushaf
dikirim ke Yaman dan lainnya di kirim ke Bahrain.
PENUTUP
Kesimpulan
Takala
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam bacaan
Al-Qur’an disebabkan oleh adanya perbedaan dialek antar suku yang berasal dari
daerah yang berbeda. Hal ini menumbulkan kehawatiran Utsman sehingga ia
mengambil kebijakan untuk membuat mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang
oleh hafsah) yang di tulis dengan jenis penulisan yang baku.
Standar
tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan Utsmani yang di
gunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, semua mushaf yang
berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan. Dengan
proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya terjadinya perselisihan di antara
umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Usaha
Khalifah Utsman yang sungguh-sungguh menghasilkan Mushaf yang sangat bermanfaat
sampai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’
Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera AntarNusa, 2013, cet. 16.
Komentar
Posting Komentar