MAKALAH : MADZHAB FIQH
TUGAS TERSTRUKTUR
MADZHAB FIQH
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Fiqh
Ushul Fiqh
Dosen: Akhmad Shodikin, S.Ag, M.HI
Disusun oleh Kelompok IX
AMANDA FAADHILLAH PUTRI 1415203011
ATIEQ FAUZIATI 1415203018
AZAH FAYAZAH 1415203021
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI
ISLAM
PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT. yang telah menurunkan Nabi Muhammad SAW. untuk umatnya di dunia
ini sebagai petunjuk untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan
abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang,
yakni dengan tersiarnya agama Islam.
Dengan Hidayah, Rahmat
dan Anugrah Allah SWT. Makalah Fiqh
Ushul Fiqh dengan judul Madzhab Fiqh ini dapat diselesaikan. Kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas terselesaikannya
makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi saran
perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan kesempurnaan. Adapun harapan kami,
semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.
Cirebon,
Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………….. …. ii
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………………….. 1
1.1 Latar
Belakang Masalah…………………………………………………. ….... 1
1.2 Rumusan
Masalah………………………………………………………… …...
1
1.3 Tujuan…………………………………………………………………….. ….... 1
BAB
II PEMBAHASAN……………………………………………………………...
2
A. Pengertian Madzhab Fqih………………………………………………………….. 2
B. Sebab Munculnya
Madzhab Fiqh………………………………………………….. 2
C. Tujuan Madzhab Fiqh……………………………………………………………… 4
D. Macam – Macam Madzhab Fiqh…………………………………………………... 4
E. Faktor – Faktor Penyebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Imam Madzhab
Fiqh.. 13
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………... 17
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam pada masa Rasulullah
SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para
sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat
terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman
yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih
hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an,
As Sunnah dan kepada perkataan sahabat.
Seiring perkembangan jaman
persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak
seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun
perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan
qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan
waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab.
Madzhab adalah cara yang
ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaan madzhab ini adalah karena
terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun
semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan
tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor
adaptasi perkembangan jaman.
Madzhab dalam hukum islam
pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan madzhab syi’a terdiri
dari madzhab Zaidi dan Imamiyah yang semua itu perlu untuk kita ketahui sebagai pertimbangan dalam kita
melaksanakan keislaman.
Dalam makalah ini kami bermaksud membahas tentang madzhab fiqh dan seluk beluknya.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami bermaksud membahas tentang madzhab fiqh dan seluk beluknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian madzhab?
2. Apa sebab munculnya madzhab?
3. Apa tujuan adanya madzhab?
4. Apa saja macam – macam madzhab fiqh?
5. Apa saja faktor – faktor yang menyebabkan perbedaan fatwa
dalam madzhab fiqh?
C. Tujuan
1. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah fiqh / ushul fiqh
2. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam madzhab.
3. Untuk mengetahui metode dalam menetapkan hukum.
4. Sebagai bahan bacaan dan referensi tambahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
1. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah fiqh / ushul fiqh
2. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam madzhab.
3. Untuk mengetahui metode dalam menetapkan hukum.
4. Sebagai bahan bacaan dan referensi tambahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Madzhab Fiqh
Secara
Bahasa, dalam kamus Al – Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam[1],
dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1. Kata “madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu,
dzhaban, madzhaban
Yang memiliki arti, telah berjalan, telah
berlalu, telah mati.
2. Madzhab adalah aliran pemikiran atau pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam meng-istinbath-kan
hukum islam.
Secara bahasa pula dalam wacana modern
“madzhab” diartikan sebagai “pendapat” (view, opinion) “kepercayaan” “ideologi”
“doktrin” “ajaran” “paham” dan “aliran – aliran hukum”.
Adapun arti “madzhab” menurut istilah para
ulama ahli fiqh (fuqaha), sebagai berikut:
1. Wahbah Az – Zuhaili, memberi batasan
“madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat
dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun
aspek hukumnya sebagai pedoman hidup[2].
2. Muslim Ibrahim, memberikan definisi “madzhab”
dapat dipahami sebagai aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang
mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali dari ayat Al – Qur’an atau Al –
Hadits yang dapat diijtihadkan[3].
Berdasarkan uraian di atas, “madzhab” dapat
dipahami sebagai aliran pemikiran atau prespektif di bidang fiqh yang dalam
proses perjalanannya menjadi sebuah komunitas dalam masyarakat islam di
berbagai aspek agama.
B. Sebab Munculnya Madzhab Fiqh
a. Telah meninggalnya
Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah –
masalah baru.
b. Meluasnya daerah
kekuasaan Islam, mencakup wilayah – wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir,
Syam, Persia, dan lain – lain.
c. Pergaulan bangsa
muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya, mereka berbaur dengan budaya, adat –
istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
d. Akibat jauhnya negara
– negara yang ditaklukkan dari pemerintahann Islam, membuat Gubernur, Qadi (Hakim)
dan para ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap
permasalahan dan masalah – masalah baru yang dihadapi.
Akhirnya,
pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab, yang memiliki daerah wilayah daulah
islam yang bertambah luas, hal itu menyebabkan tersebarnya para sahabat dan
tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Dan, mulai terbentuklah
madrasah[4].
Madrasah
terbagi menjadi dua :
Madrasah hadits pada permulaannya timbul di
Hijaz (Madinah), karena penduduk Hijaz lebih mengetahui hadits Rasul dan lebih mengetahui tentang perkataan dan
perbuatan (amalan) Rasul. Merekalah yang mendukung panji – panji hadits. Hijaz
pada masa itu merupakan sentrum para ulama. Mereka terpengaruh oleh jalan
pikiran fuqaha – fuqaha sahabat dan tabi’in. Dalam hal ini Ibn Qayyim berkata :
“Ulama – ulama Madinah menerima ilmu dari murid – murid Zaid dan Ibnu Umar.
Ulama Makkah menerima ilmu dari teman – teman Abdullah Ibn Abbas. Sedangkan
penduduk Irak menerima ilmu dari Abdullah Ibn Mas’ud”.
Madrasah hadits ini, mula – mulanya dipimpin
oleh Sa’id Ibn Musaiyab[5]
(wafat pada tahun 94 H) . Banyak yang berguru padanya. Fuqaha – fuqaha itu
setelah mempelajari benar – benar bagaimana cara – cara istinbath Ibn Musaiyab,
mereka pun bertebaranlah ke berbagai kota untuk menyampaikan dan mengajarkan
hadits yang diriwayatkan oleh ulama – ulama Madinah. Mereka ada yang pergi ke
Irak, ke Syam, Mesir dan lain - lain[6].
Yang mengendalikan madrasah ini, selain
daripada Sa’id Ibn Musaiyab, ialah Salim Ibn Abdullah Ibn Umar, kemudian Az –
Zuhri dan Yahya Ibn Sa’id, Kemudian sesudahnya Malik, Asy – Syafi’i, Ahmad dan
Dawud.
Dalam meng – istinbath – kan hukum. Mereka
akan mencari penyelesaian masalah itu pada Kitabullah, kemudian kepada Sunnatur
Rasul. Kalau mereka mendapati hadits yang berbeda – beda, mereka mengambil
hadits yang diriwayatkan oleh perawi – perawi yang lebih utama. Apabila mereka tidak
memperoleh hadits, merekapun meninjau pendapat sahabat. Jika mereka tidak
mendapati pendapat sahabat, mereka mempergunakan ijtihad, atau mereka tidak
memberi fatwa. Akan tetapi, kecenderungan ini tidak lama masanya hingga
wafatnya Imam Dawud Ibn Ali. Fuqaha yang datang sesudahnya memperhatikan fatwa
dan memberikan fatwa terhadap yang telah terjadi atau yang mungkin terjadi.
Sebab dari madrasah hadits yang hanya
memelihara hadits dan tidak memecahkan persolan – persoalan yang tidak terdapat
nashnya (haditsnya), maka secara tidak langsung timbullah hadits – hadits
palsu. Karena sebagian masyarakat islam pada zaman itu tidak keberatan membuat
hadits – hadits palsu, membuat hadits palsu untuk menguatkan pendiriannya, baik
yang dibuat oleh tukang – tukang cerita ataupun yang dibuat – buat oleh orang –
orang yang fanatik mazdhab untuk menguatkan pendirian imamnya dan madzhabnya.
Tetapi, yang demikian itu tidaklah mempengaruhi fiqh karena para ulama sangat
meneliti benar benar mana hadits yang shahih dan mana yang tidak. Dan para
fuqaha pun sangat berhati –hati dalam menghadapi hadits palsu.
2. Madrasah Ra’yi (Aliran Rasionalisme)
Irak adalah suatu
daerah yang jauh dari daerah hadits yang belum lagi dibukukan itu. Hadits yang
sampai kesana hanyalah hadits – hadits yang dibawa oleh sahabat yang datang
kesana, antara lain oleh Ibn Mas’ud, Ali Ibn Abi Thalib, Sa’id Ibn Abi Waqash,
Abu Musa Al Asyari, Al Mughirah Ibn Syu’bah dan Anas Ibn Malik. Di Irak juga
timbul masalah hadits palsu karena sebab timbulnya masalah khilafiyah yakni
Syi’ah dan Khawarij dan terdapat pula orang – orang yang islamnya belum kuat,
belum sampai ke lubuk hatinya, sehingga mereka berani membuat hadits palsu.
Pendiri madrasah ra’yi ini adalah : Abdullah Ibn
Mas’ud. Diantara sahabat Ibn Mas’ud yang terkenal di Kufah (Irak), ialah :
a. Al Qamah Ibn Kais An
Nakha’i (wafat 62 H)
b. Al Aswad Ibn Yazid An
Nakha’I (wafat 75 H)
c. Masruq (wafat 63 H)
d. Syuraih (wafat 82 H)
e. Al Harits Al A’war
(wafat 81 H)
Mereka semua adalah
fuqaha abad pertama yang wafatnya antara tahun 62 sampai 82 H, Sesudah itu
madrasah ini dipimpin oleh Ibrahim An Nakha’i. Ibrahim An Nakha’i belajar ilmu
fiqh dari Abu Sa’id Al Khudri. Selanjutnya, setelah wafatnya Ibrahim An
Nakha’i, madrasah ra’yi di Kufah ini dipimpin oleh Abu Hanifah, yang kepada
beliaulah nama madrasah ini disandarkan, sehingga madzhab hanafiyah merupakan
madzhab ra’yi.
Madrasah ra’yi
berpendapat, bahwa agama islam telah sempurna sebelum Rasul wafat. Syari’at
islam dapat dipahami maknanya, dapat diselami illat – illatnya. Karena itu
fuqaha madrasah ini membahas illat – illat hokum dan menentukan hukum sesuai
dengan perputaran illat – illatnya. Karenanya mereka tidak takut – takut memberi
fatwa terhadap sesuatu masalah yang belum terjadi. Mereka sangat takut (sangat
berhati – hati) menerima sesuatu hadits karena takut kalau – kalau hadits itu
palsu.
C. Tujuan Madzhab Fiqh
Tujuan madzhab – madzhab
fiqh dalam Islam adalah untuk memudahkan umat Islam mencapai ketaatan kepada
Allah melalui Al – Qur’an dan As – Sunnah. Setiap ajaran madzhab adalah
berdasarkan Al – Qur’an dan As – Sunnah. Oleh karena itu, mengikuti madzhab
berarti mengikuti Al – Qur’an dan As – Sunnah.
D. Macam – Macam
Madzhab Fiqh
1. Madzhab – Madzhab yang Timbul karena Perbedaan Politik
Perdebatan dalam
masalah – masalah yang mengenai bidang fiqh yang dipengaruhi persoalan politik
seperti dalam hal pemerintahan, siapa yang berhak menjadi khalifah, hukum –
hukum bughat dan pemberontak dan hukum – hukum
menentang iman.
Berikut madzhab –
madzhab yang muncul karena perbedaan politik, antara lain :
a. Madzhab Syi’ah
Yaitu, orang yang
berpendapat bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah karena khalifah itu adalah
pusaka yang bersifat moral dari Rasul dan memang Ali sudah diwashiyatkan untuk
itu, yang karena itu mereka menamai Ali dengan washiyur Rasul. Mereka
berpendapat bahwa khalifah itu harus orang yang diwashiyatkan oleh orang yang
digantii itu. Mereka sependapat, bahwa yang menjadi khalifah sesudah Nabi,
ialah Ali, kemudian Hasan dan Husain dan kemudian Ali Zainal Abidin ibn Husain.
Golongan Syi’ah ini
kemudian menjadi beberapa partai lagi disebabkan karena perbedaan pendapat
dalam soal pemegang tampuk pemerintahan. Ada yang berpendapat bahwa tampuk
pemerintahan harus dipegang oleh anak keturunan Siti Fatimah dengan cara
ditunjuk, merekalah golongan Syi’ah
Imamiyah. Ada yang berpendapat bahwa tampuk pemerintahan itu harus dipegang
oleh keturunan Siti Fatimah tetapi dengan pemilihan, mereka adalah golongan Syi’ah Zaidiyah. Dan ada golongan Syi’ah Kaesaniyah dan Syi’ah Ismailiyat. Namun, yang
termasyhur dan masih berkembang dengan pengikut yang banyak hingga sekarang,
adalah Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah.Berikut penjelasannya :
1.
Madzhab Syi’ah
Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740
M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun
buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqh
Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut
bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh
Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang
kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang
hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam
Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh
Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu,
al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam
al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai
pendiri Mazhab Hadawiyah di
Yaman. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam
al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi
al-Qiyas, dan al-Ahkam
fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin
Murtada (w. 840 H.) yang menyusun bukual-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li
Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh
ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak
perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, haram
mengawini wanita ahlulkitab,tidak membolehkan menyapu sepatu dalam berwudhu.
Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah
Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut
Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan
pemikiran fiqh ahlurra’yi.
2.
Madzhab Syi’ah Imamiyah
Menurut Muhammad
Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi ’i dengan
beberapa perbedaan yang mendasar.
Dalam
berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an,
mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut
mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima
qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas
merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami,
karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan
mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut,
mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum
syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.
Kitab
fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi
judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh
ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).
Menurut
Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad
bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran
fiqh Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir
ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah
itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin
Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi
’ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar
fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1.
Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang
diharamkan ahlus sunnah;
2.
Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak,
yang menurut pandangan ahlus sunnah tidak perlu; dan
3.
Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan
lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah
sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan
mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang, sejak Iran diperintah
oleh dinasti Shafawiyah yaitu keluarga Ismail As Shafawi (907 H). Sedangkan
pembangun madzhab syi’ah imamiyah di Iran adalah Abu Ja’far Muhammad Ibn Al
Hasan Ibn Farukh Al Qummi (250 H) dengan kitabnya yang berjudul Basyairud Darajat fi Ulumi Ali Muhammad.
2.
Madzhab
Sunni yang Masih Berkembang
Berdasarkan ini,
madzhab ahl sunnah terbagi kepada dua madrasah : Ra’yi dan Hadits. Kemudian
kedua – duanya kian lama kian rapat, hingga tidak ada lagi pemisah antara
keduanya.
Ibn Qutaibah dalam
kitab Al Ma’arif halaman 216 menggolongkan Malik, Syafi’I dan Abu Hanifah ke
dalam golongan Ahlur Ra’yi.
Asysyahrastani dalam
kitab Al Milal halaman 160 menggolongkan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlur
Ra’yi, sedangkan Malik, Syafi’I, Ahmad dan Dawud ke dalam golongan Ahlul
Hadits. Berikut ini penjelasan dari madzhab – madzhab ahl sunnah :
a. Madzhab Hanafi
Pendiri madzhab
Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada masa sahabat,
yaitu pada tahun 80 H atau 699 M dan wafat pada tahun 150 H bertepatan dengann
lahirnya Imam Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An
Nu’man.
Abu Hanifah adalah
seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada
Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad ke-2 H dan banyak belajar pada ulama –
ulama tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula ibn Umar. Beliau
disebut wadli’ ‘ilmi fiqh (sumber
atau lembah ilmu fiqh)
Madzhab Hanafi adalah
sebagai nishbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi madzhab Hanafi adalah nama
dari kumpulan – kumpulan pendapat –pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah
dan murid – muridnya serta pendapat – pendapat yang berasal dari para pengganti
mereka sebagai perincian perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka
yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama – ulama
Irak (Ahl Ra’yi). Maka disebut juaga madzhab Ahl Ra’yi masa Tabi’it Tabi’in.
Corak pemikiran hukum madzhab ini adalah rasional.
Metode fiqh madzhab
Hanafi jika kita rincikan maka ada 9 ushul istinbath, yaitu :
1. Al
– Qur’an
2. Hadits
Nabi, diutamakan yang shahih – shahih dan yang masyhur saja.
3. Perkataan
Sahabat (Madzhab Shahaby)
4. Qiyas
5. Ijma’
6. Istihsan
7. Istishab
(Sebagian kecil ulama madzhab Hanafi)
8. Syar’u
Man Qablana
9. Dalalatul
Iqtiran
Kitab
Imam Abu Hanifah, diantaranya : Kitab “Al – Faraid” (Harta Pusaka)
Daerah – daerah penganut
madzhab Hanafi, diantaranya : Kufah (Irak) tempat awal pertumbuhan madzhab
Hanafi, kemudian tersebar ke negara – negara Islam bagian Timur. Dan sekarang
ini madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.
Dan madzhab ini dianut
sebagian besar penduduk Afghanistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan
Tiongkok.
b. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah
merupakan kumpulan pendapat – pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para
penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama lengkap beliau
adalah Imam Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al –
Harits. Lahir pada tahun 93 H – 179 H / 712 M – 798 M di Madinah. Selanjutnya
dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam
Malik terkenal dengan sebutan “Sayyidi
Fuqahail Hijaz” pemimpin para ulama fiqh Hijaz. Imam Yahya bin Said Al –
Qahthan, menggelarinya sebagai “Amirul
Mu’minin Fil Hadits”. Imam Syafi’I berkata : “Apabila dibicarakan tentang
hadits dan tentang keulamaan maka Imam Malik adalah bintangnya”.
Imam Malik belajar
pada ulama – ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdurrahman bin
Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula ibn Umar dan Ibnu Syihab Az –
Zuhri.
Adapun yang menjadi
gurunya dalam bidang fiqh iaslah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Corak pemikiran
hukum madzhab ini adalah dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual.
Metode fiqh madzhab
Maliki dapat diurutkan sebagai berikut :
1.
Nashul Kitab (Ayat Al – Qur’an yang jelas artinya,
yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)
2.
Dzaahirul Kitab (Umum. Ayat Al – Qur’an yang jelas
artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)
3.
Dalilul Kitab (Mafhum Mukhalafah dari suatu ayat Al –
Qur’an)
4.
Mafhum Muwafaqah dari suatu ayat Al – Qur’an
5.
Tanbihul Kitab terhadap illat (Tujuan ditetapkannya
hukum karena sebab illat)
6.
Nash – Nash Sunnah
7.
Dzaahirus Sunnah
8.
Dalilus Sunnah
9.
Mafhum Sunnah
10. Tanbihus
Sunnah
11. Ijma’
12. Qiyas
13. Amalu
Ahlil Madinah
14. Qaul
Shahabi
15. Maslahah
Mursalah
16. Istishab
17. Syar’u
Man Qablana
18. Syadzudz
Dzari’ah
19. Dalalatul
Iqtiran
Madzhab ini adalah
kebalikan dari madzhab Hanafi. Kalau madzhab Hanafi banyak sekali mengandalkan
nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash – nash yang valid di Kufah,
madzhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber – sumber syariah. Sebab madzhab ini
tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, dimana penduduknya adalah anak
keturunan para sahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang
dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar
hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih pada umumnya.
Kitab – kitab Imam
Malik yang terkenal ialah : Al – Muwatha, dan Kitab Mudawanah Al – Qubra.
Daerah yang menganut
madzhab Maliki awalnya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai
saat ini di Maroko, Al Jazair, Tunisia, Libya, Bahrain dan Quwait.
c. Madzhab Syafi’i
Madzhab ini dibangun
oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris, yang bersanad Al – Abbas bin Utsman
bin Syafi’I bin As – Sa’ib Al – Hasyimi Al – Muthalibi Al – Quraisyi. Keturunan
Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina)
tahun 150 H / 764 M dan wafat pada tahun 204 H / 820 M pada malam jum’at, dan
dikebumikan setelah shalat ashar pada tanggal 29 Rajab atau 19 Januari.
Guru Imam Syafi’i
yang pertama adalah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekkah, Imam Malik bin
Anas, Ibnu Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad. Imam Syafi’i sanggup hafal Al – Qur’an
pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al – Qur’an barulah mempelajari
bahasa dan syi’ir, kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh. Sejak di usia
muda beliau sudah hafal kitab Al – Muwatha karya Imam Malik
Madzhab Syafi’i
terdiri dari dua macam : Berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukiim. Yang
pertama adalah Qaul Qadim, yaitu : Madzhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak
(195 – 197 H). Dan yang kedua adalah Qaul Jadid, yaitu : madzhab yang hidup di
Mesir pindah dari Irak (Pada tahun 199 H).
Keistimewaan Imam
Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahid yang lain adalah beliau merupakan imam
pertama dalam Ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar – Risalah. Dan kitabnya dalam
bidang fiqh yang menjadi induk dari madzhabnya adalah Al – Umm. Orang – orang
Makkah memberikan julukan “Nashirul
Hadits” (Penolong memahamkan hadits)
Corak pemikiran hukum
madzhab ini adalah antara hadits (tradisional) dan ra’yi (rasional). Metode fiqh
madzhab Syafi’i diambil berdasarkan :
1.
Al – Qur’an
2.
As – Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
5.
Maslahah Mursalah
6.
‘Urf
7.
Istishab
8.
Syar’u Man Qablana
9.
Dalalatul Iqtiran
10. Istidlal
Berikut
ini merupakan beberapa kitab karya Imam Syafi’I :
1. Ar
– Risalah, tentang Ushul Fiqh
2. Al
– Umm, tentang Fiqh
3. Al
– Musnad
4. Al
– imla’
5. Al
– Amaly dan lain – lain
Daerah – daerah yang
menganut madzhab Syafi’i, diantaranya : Libya, Mesir, Indonesia, Philipina,
Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Syiria, Irak,
Madinah, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni – Rusia dan Yaman.
d. Madzhab Hambali
Pendiri madzhab
Hambali adalah : Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Azzadahili
Assyaibani. Beliau lahir di Baghdad tahun 164 H / 780 M dan wafat pada tahun
241 H / 855 M. Beliau mencurahkan perhatiannya terhadap hadits sejak berusia 16
tahun.
Guru – guru beliau
diantaranya : Sufyan bin Uyainah, ,Ibrahim bin Saad, dan Yahya bin Qaththan.
Murid – murid beliau yang masyhur diantaranya : Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnn
Abid Dunya, dan Ahmad bin Abil Hawarimy.
Menurut Abu Zur’ah,
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki 12 karya kitab yang sudah beliau hafal di luar
kepala dan memiliki 1.000.000 (satu juta) hafalan hadits. Imam Syafi’i berkata
: “Ktinggalkan kota Baghdad dengan tidak meninggalkan apa – apa, selain
meninggalkan orang yang lebih takwa, dan lebih alim dalam ilmu fiqh yang tiada
taranya”
Beliau wafat pada
hari jum’at, bulan Rabi’ul Awal di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz.
Jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki – laki dan 60.000 orang perempuan,
20.000 orang nashrani dan banyak orang yahudi dan majusi masuk Islam.
Corak pemikiran
madzhab ini adalah hadits (tradisional). Dan metode fiqhnya diambil dari :
1. Al
– Qur’an atau As – Sunnah
2. Fatwa
sebagian sahabat
3. Pendapat
sebagian sahabat
4. Hadits
mursal atau hadits dhaif
5. Qiyas
6. Istishab
Kitab – kitab Imam
Hambali selain seorang ahli mengajar dan mendidik, ia juga seorang pengarang.
Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang
isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Diantara
kitabnya adalah sebagai berikut :
1.
Al – Musnad Al – Kabir
2.
Tafsir Al – Qur’an
3.
Al – Nasokh wa Al – Mansukh dan lain – lain.
Daerah yang menganut
madzhab Hambali, diantaranya awal perkembangannya di Baghdad, Irak dan Mesir
dalam waktu yang sangat lama. Kemudian Libya, Mesir, Indonesia, Saudi Arabia,
Palestina, Syiria, Irak, Jazirah Arab.
Pada abad XII madzhab
Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi.
Dan masa sekarang ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan
mempunyai penganut yang terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Syiria dan
Irak.
4. Madzhab Fiqh yang Telah Punah
Menurut Muhammad Yusuf Musa,
mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza’i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman
al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah)
yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang
ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata:
"Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah
tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya
(selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza’i pernah dianut oleh
masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut
masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana.
Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur
fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam
kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310
H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf
al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i. Dalam al-Umm, asy-Syafi’i
mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza’i, serta antara
Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari
Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad
kedua Hijriyah.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan
as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan
termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri
tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak
dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar
Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang
mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
3. Mazhab al-Lais bin Sa’ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin
Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya
abad ke-3 H.
Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais
yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya
tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang
pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada
bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak
menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang
diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu
dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang
hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu memerdekakan
budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan kalau
tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan
fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama
(memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah
memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak
tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah
suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan
hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya,
hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’.
Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan
bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya
adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan
berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais,
menurut jumhur ulama adalah al-maslahah
al-gharibah (kemaslahatan
yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh
makna sejumlah nash).
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau
Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.;
sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping
seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di
bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di
bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’
al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Di
bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah
belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam
asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti
pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak
mempunyai pengikut lagi.
5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman.
Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu
Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi
Usul al-Ahkam di
bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab
ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi SAW) secara literal,
selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud
dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai
hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’. Ijma’ yang mereka
terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai
dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad
Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan
ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan
Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah
al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra’yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri
banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut
fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat
mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab.
Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil
ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah
Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan
Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar)
E. Faktor – Faktor Penyebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Imam Madzhab
Fiqh
Muhammad
Abdul Fath Al – Bayanuni dalam Dirasat fi Al – Ikhtilaf Al – Fiqhiyyah,
menjelaskan “asal muasal perbedaan hukum – hukum fiqh disebabkan timbulnya
“ijtihad” terhadap hukum, terutama pasca – Nabi dan sahabta meninggal dunia.
Al –Bayanuni menjelaskan bahwa faktor utama
perbedaan itu ada dua : (1) kemungkinan yang terkandung dalam nash – nash
syariah (Al – Qur’an dan Al – Hadits) dan (2) perbedaan pemahaman ulama. Kedua
faktor dasar inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pendapat dan
hukum. Secara matematis, Al – Bayanuni menjelaskan :
1.
Nash
– nash yang mengandung kemungkinan akal dan pemahaman yang berbeda – beda
pendapat yang bermacam – macam.
2.
Nash
– nash yang qath’i akal dan pemahaman yang sama pendapat – pendapat yang sama
pula.
Yusuf Qardhawi melihat bahwa sebab dan
akar ikhtilaf terbagi menjadi dua : (1) ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor
akhlak dan (2) ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor pemikiran.
Thaha Jabir menjelaskan bahwa faktor –
faktor penyebab ikhtilaf terbagi menjadi tiga: (1) faktor bahasa, (2) faktor
periwayatan, dan (3) faktor kaidah dan metode istinbath.
Syekh Muhammad Al – Madany dalam
bukunya Asbab Ikhtilaf Al – Fuqaha’, membagi sebab ikhtilaf pada empat macam :
(1) pemahaman AL – Qur’an dan As – Sunnah, (2) sebab – sebab khusus tentang
sunnah Rasul, (3) sebab – sebab yang berkaitan dengan kaidah – kaidah
ushuliyyah atau fiqhiyyah, dan (4) sebab – sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil di luar Al – Qur’an dan As – Sunnah.
Syekh Muhammad Abu Zahrah menguraikan
bahwa sebab – sebab ikhtilaf terdiri dari empat, ikhtilaf terhadap : (1) Al –
Qur’an, (2) As – Sunnah, (3) Ra’yi (Qiyas), (4) Ijma’ proses Ijma’, bentuk
Ijma’ dan Ijma’ Ashliyah.
Muhammad Said Thantawi, menguraikan
beberapa sebab perbedaan ulama fiqh fuqaha dalam menggali hukum Islam, sebagai
berikut :
1.
Perbedaan
dalam makna dan maksud sebagian lafadz dan ayat – ayat Al – Qur’an
2.
Perbedaan
dalam makna dan maksud hadits Nabi
3.
Perbedaan
dalam membuat criteria penerimaan hadits Nabi : sebagian ketat, dan sebagian
longgar.
4.
Perbedaan
cara melakukan Ijma’, tarjih antara nash yang ta’arud dengan zahir nash,
perbedaan cara melakukan Qiyas, Istihsan, Istishlah, Istishab, kaiah – kaidah
penggalian hukum.
F. Contoh Perbandingan Madzhab
1. Membaca Al – Fatihah dalam Shalat Jama’ah
a. Madzhab Hanafi
Menurut pendapat madzhab ini membaca
di belakang Imam baik Al – Fatihah atau surat yang lain hukumnya makruh yang
mendekati haram, baik shalat jahr ataupun sirri.
b. Madzhab Maliki
Menurut pendapat madzhab ini membaca
di belakang Imam bagi makmum adalah sunnah hukumnya pada shalat sirri. Dan pada
shalat jahr makruh hukumnya.
c. Madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i membaca Al –
Fatihah hukumnya adalah wajib bagi setiap makmu di belakang Imam kecuali pada
shalat jahr, maka diam mendengarkan bacaan shalat Imam lebih wajib.
d. Madzhab Hambali
Pendapat madzhab ini tentang bacaan
surat Al – Fatihah sama hukumnya seperti madzhab Maliki
2. Bersentuhan Kulit Laki – Laki dan Perempuan
a. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, bersentuhan
kulit antara laki – laki dan perermpuan tidak membatalkan wudlu, kecuali
apabila bersentuhan itu menyebabkan laki – laki terangsang.
b. Madzhab Maliki dan Madzhab Hambali
Apabila bersentuhan itu menimbulkan
syahwat maka membatalkan wudlu, tapi apabila tidak menimbulkan syahwat maka
tidak membatalkan wudlu.
c. Madzhab Syafi’i
Apabila bersentuhan itu tidak ada
penghalang (aling – aling) maka membatalkan wudlu, kecuali dengan mahram
sendiri. Tapi, apabila ada penghalang maka tidak membatalkan wudlu.
3. Sujud Syahwi
a. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, apabila
seseorang lupa dalanm jumlah raka’at shalat umapamanya, maka sujud syahwi itu
dikerjakan setelah salam.
b. Madzhab Maliki
Sujud syahwi itu dilakukan melihat
jumlah raka’at yang lupa. Apabila sujud syahwi itu karena kekurangan raka’at,
maka sujud syahwi harus dikerjakan sebelum salam. Apabila kelebihan raka’at,
maka sujud syahwi dikerjakan setelah salam.
c. Madzhab Syafi’i
Sujud syahwi dengan alasan apapun,
lupa jumlah raka’at atau yang lainnya, maka dikerjakan sebelum salam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan makalah di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : proses
lahirnya madzhab pada dasarnya adalah usaha para murid Imam madzhab yang
menyebarkan dan menanamkan pendapat para Imam kepada masyarakat dan juga
disebabkan adanya pembukuan pendapat para Imam madzhab sehingga memudahkan
tersebarnya di kalangan masyarakat karena para Imam madzhab terdebut tidak
mengakui atau mengklaim sebagai madzhab.
Sejarah
lahirnya madzhab fiqh dimulai dari dua madrasah yaitu : Ra'yi dan Hadits. Madrasah
Hadits kemudian juga dikenal sebagai madrasah Hijaz yang dikenal sangat kuat
berpegang pada hadits karrna mereka banyak mengetahui hadits - hadits Rasul.
Adapaun madrasah Ra'yi atau madrasah Irak lebih mengedepankan logika dalam
berijtihad.
Perkembangan
selanjutnya, madzhab kini dibagi menjadi tiga besar. Yakni : Sunni (madzhab 4
Imam), Syi'ah (Zaidiyah dn Imamiyah), dan Khawarij. Tujuan adanya madzhab bukan
untuk saling kafir meng - kafirkan. Melainkan, untuk mempermudah kaum muslim
dalam menjalankan syari'at islam tanpa ada kesulitan meski berbeda situasi dan
kondisinya.
DAFTAR PUSTAKA
Junaidi, Ahmad dkk. 2013. Al Hakim : Fiqh XII / Gasal. Klaten : Gema Nusa.
Habibi, Ilyas. 2014. Bahan
Ajar Fiqh Kelas XI-XII Program Keagamaan(Tidak Diterbitkan). Cirebon : MAN
Babakan Ciwaringin.
Hasbi Ash – Shiddieqy, T.M. 1985. Pengantar Ilmu Fqih. Jakarta : Bulan Bintang
Shobirin. 2013. Fiqh
Ushul Fiqh. Jakarta : Dharma Bhakti. cet 2
[1] Al-ab Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam, 1986, Beirut:
Dar Al Masyiiq, hal 239-240
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Dillatuhu, 1989, Beirut: Dar
Al Fiqr juz 1, hal 27
[3]Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran, 1991 Penerbit : Erlangga,
Jakarta, hal 47
[4]Pengertian madrasah disini bukan berarti rumah-rumah, melainkan sistem,
cara, aliran yang ditempuh oleh para fuqaha
[5]Baca Sejarahnya dalam Thabaqatul Kubra 5 : 77, Al-Ma’arif, susunan Ibnu
Qutaibah : 193
[6]Baca : Dhuhal Islam 2 : 160
Bentuk pdf nya nggk ada kah
BalasHapus